Bagi pecinta drama Korea, pasti tidak asing melihat adegan makan tahu mentah setelah seseorang keluar dari penjara. Apa sih alasannya?
BARISAN.CO – Dalam bahasa Korea, tahu disebut dengan dubu. Tahu menjadi salah satu makanan favorit masyarakat Korea Selatan. Data Statista pada Juni 2021 menunjukkan, sebanyak 37,1 persen orang Korea Selatan makan tahu sekali atau dua kali dalam seminggu.
Maka, tak mengejutkan jika panganan Korea yang menggunakan tahu, misalnya, sundubu-jjigae dan dubu-jorim.
Bagi pecinta drama Korea, pasti tidak asing melihat adegan makan tahu mentah setelah seseorang keluar dari penjara.
Diperkirakan, tahu telah diperkenalkan ke Korea sekitar akhir periode Goryeo (918-1392). Itu digunakan dalam masakan kerajaan, tetapi keluarga biasa juga membuat tahu di rumah. Jadi, mungkin saja kebiasaan itu dimulai sejak dinasti Joseon.
Praktik ini dimulai di penjara dinasti Joseon, tetapi sekarang terlihat di banyak drama dan film Korea modern.
Namun, mengapa hingga kini tradisi ini dipertahankan? Mengutip IMedia, selama pendudukan Jepang di Korea, tahanan tidak menerima makanan bergizi dan sulit mendapatkan protein karena daging langka.
Jadi, ketika orang mengunjungi kerabat di balik jeruji besi, mereka membawa tahu. Nah, sebagai makanan yang murah tapi bergizi, tahu ibaratkan sebagai keselamatan bagi narapidana yang baru dibebaskan.
Kemudian, sebelum dan sesudah pembebasan, Korea Selatan berada dalam masa sulit dan tidak ada cukup anggaran untuk menyiapkan makanan bagi petugas penjara. Akibatnya, narapidana makan dengan buruk. Bahkan, setelah pembebasan, dan sampai hari ini, orang masih berpikir bahwa orang yang berdosa tidak perlu makan enak.
Orang yang pernah di penjara tidak bisa makan makanan bergizi seperti daging sesering orang biasa, jadi protein sangat dibutuhkan setelah keluar dari penjara. Selain itu, tahu tidak hanya murah, tetapi juga kaya protein.
Alasan kedua ialah secara tradisional, warna putihnya menandakan kemurnian, kepolosan, awal baru bagi penjahat untuk tidak melakukan pelanggaran lagi, dan harapan akan kehidupan yang bebas dari kejahatan. Novelis, Park Wan-seo dalam esainya “Tofu” mengatakan, makanan ini mewakili sebuah transformasi, menandakan harapan para penjahat dapat membuka lembaran baru.
Dan, terakhir, soal kenyamanan psikologis. Dengan perkembangan ekonomi, tingkat material masyarakat modern tidak sama seperti dulu. Narapidana saat ini bisa makan nasi, daging, dan kimchi, serta menghabiskan uangnya untuk membeli buah-buahan. Sehingga, makan tahu setelah bebas penjara bukan lagi untuk kebutuhan nutrisi, melainkan lebih kenyamanan spiritual, tekad untuk kembali ke masyarakat.