Nah, karena tanggungjawab terhadap penumpang yang tinggi maka regulator pun mewajibkan uji petik kendaraan secara reguler. Pun mesti pula sopir lulus uji kepantasan dan kepatutan untuk mendapatkan SIM B atau C umum.
Karena tanggungjawab terhadap penumpang pula maka penumpang berhak untuk menilai kendaraan dan pengemudinya atau kepo terhadap pengelolaan nya sehingga jika kendaraan umum dengan aplikasi maka penumpang boleh me-rating mobil/motor atau pengemudinya sehingga terhindar dari bau apak helm atau jaket pengemudi yang sudah tiga purnama tidak di cuci.
Demikianlah yang terjadi pula pada lembaga filantropi, sesungguhnya besar atau kecil lembaga tersebut adalah sama-sama lembaga publik yang mengelola dana amanah, maka harus tunduk pada regulasi-regulasi yang di berlakukan pada lembaga publik tersebut dan tunduk pada kepantasan dan kepatutan norma norma yang berlaku secara makruf.
Nah menjadi persoalan jika mengelola lembaga publik itu seperti mengelola lembaga privat apalagi seperti mengelola lembaga milik sendiri maka sebagaimana PO bus milik keluarga yang enggan bertransformasi dengan standar standar industri maka akan gulung tikar di tinggal penumpangnya karena standar keamanan yang di korbankan atau ditinggal pengemudinya karena manajemen yang amburadul, atau seperti sopir mobil keluarga yang ditinggal bertengkar para penumpang tadi.
Untungnya dalam lembaga zakat di Indonesia ekosistemnya sudah relatif tertata, ada standar kompetensi untuk para pengelola sehingga setiap amil harus lolos uji kompetensi, ada forumnya yang menjadi katalisator dan self regulatory organization (SRO) yang membuat pedoman pedoman yang sangat dinamis pada industri dan mengatur kode etik pengelola dan institusinya (code of conduct).
Dan ada regulatornya yakni BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Ekosistem yang komplit ini menjadikan mengemudi di dunia zakat di Indonesia relatif sulit zig zag atau ngebut serampangan karena banyak pengemudi lain yang akan segera buka jendela… “Heh lihat jalan Bro… “
Sebagai pengemudi kendaraan umum harus pula ngerti dan taat syariah. Jika tidak maka seperti pengojek yang tidak mengakadkan dengan jelas di awal sehingga ongkos nya mengandung ketidak jelasan (ghoror) yang di larang atau setelah kesepakatan dibuat malah tidak mengantarkan sesuai amanah.
Prinsip ketaatan kepada syariah ini tentu sangat menjadi panduan dan di tekankan dalam dunia zakat karena sebagai amil pada dasarnya ketika berakad dengan Muzakki maka seorang amil telah menjadi perwakilan dari Muzakki untuk menyampaikan nya kepada yang berhak (mustahik).