Nah menjadi persoalan jika mengelola lembaga publik itu seperti mengelola lembaga privat apalagi seperti mengelola lembaga milik sendiri maka sebagaimana PO bus milik keluarga yang enggan bertransformasi dengan standar standar industri maka akan gulung tikar di tinggal penumpangnya karena standar keamanan yang di korbankan atau ditinggal pengemudinya karena manajemen yang amburadul, atau seperti sopir mobil keluarga yang ditinggal bertengkar para penumpang tadi.
Untungnya dalam lembaga zakat di Indonesia ekosistemnya sudah relatif tertata, ada standar kompetensi untuk para pengelola sehingga setiap amil harus lolos uji kompetensi, ada forumnya yang menjadi katalisator dan self regulatory organization (SRO) yang membuat pedoman pedoman yang sangat dinamis pada industri dan mengatur kode etik pengelola dan institusinya (code of conduct).
Dan ada regulatornya yakni BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Ekosistem yang komplit ini menjadikan mengemudi di dunia zakat di Indonesia relatif sulit zig zag atau ngebut serampangan karena banyak pengemudi lain yang akan segera buka jendela… “Heh lihat jalan Bro… “
Sebagai pengemudi kendaraan umum harus pula ngerti dan taat syariah. Jika tidak maka seperti pengojek yang tidak mengakadkan dengan jelas di awal sehingga ongkos nya mengandung ketidak jelasan (ghoror) yang di larang atau setelah kesepakatan dibuat malah tidak mengantarkan sesuai amanah.
Prinsip ketaatan kepada syariah ini tentu sangat menjadi panduan dan di tekankan dalam dunia zakat karena sebagai amil pada dasarnya ketika berakad dengan Muzakki maka seorang amil telah menjadi perwakilan dari Muzakki untuk menyampaikan nya kepada yang berhak (mustahik).
Lebih jauh sebagai seorang amil terdapat tanggung jawab untuk menyampaikan akan tetapi tanpa menjadikan terluka hati nya, merasa tidak mampu atau justru menjadi tergantung. Sungguh gagal lah seorang amil jika membuat tangan yang tadinya suka memberi justru menjadi tengadah menjadi tangan di bawah.
Sebagaimana angkutan umum yang sangat sangat di perlukan apalagi di kota kota besar dimana angkutan pribadi justru menjadi sumber kemacetan. Maka memberikan kepercayaan kepada lembaga Pengelola dana umat (selain merupakan anjuran agama) juga menjadikan dana sosial menjadi lebih efektif efisien, tepat guna dan berdaya guna.
Apalagi jika kita membaca dengan baik bahwa zakat infaq shadaqah itu harus disampaikan kepada “assaaili wal mahrum” Kepada yang meminta minta maupun yang menjaga kehormatan dengan tidak meminta.
Rasanya dana ZISWAF akan menyentuh orang orang yang menjaga kehormatan nya dengan tidak meminta jika di kelola secara sungguh-sungguh oleh suatu lembaga yang amanah sebagaimana bapak ibu sidang pembaca dapat lihat saat ini di Indonesia.
Akhirnya, sebagai pengemudi senior yang jadwal mengaspalnya dapat ditandingkan dengan sopir AKAP, yang panggilan menyopirnya senantiasa meronta ronta oleh semburat pagi dan birunya lembayung petang, yang menikmati tahajjud diatas kemudi atau mendengarkan Gus Baha’ atau UAH, UAS mengaji, yang sering kali merasa di nasehati oleh tulisan tulisan di Bak-Bak Truk, saya ingin menasehati kepada sesama sopir… “Drive Safely Brother… (Titidijae)..” [Luk]