Opini

Mengenali Radikalisme Bernuansa Agama

Achmad Fachrudin
×

Mengenali Radikalisme Bernuansa Agama

Sebarkan artikel ini
Achmad Fachrudin, Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam Universitas PTIQ Jakarta

MUNGKIN tidak terlalu salah jika dikatakan, diantara isu paling kontroversial dalam dinamika dan realitas keummatan, kemasyaratan dan keindonesiaan pada beberapa dekade ini adalah radikalisme bernuansa agama. Frasa radikalisme bernuansa agama sengaja ditawarkan karena belum tentu munculnya wacana, atau aksi radikalisme agama akibat pemahaman terhadap doktrin otentik agama. Sebaliknya bisa jadi lebih merupakan pseudo agama; atau seolah-olah merujuk kepada agama. Padahal yang sebenarnya bukan karena motiv agama, melainkan lebih pada non agama. Dan motif-motif non agama bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk oleh negara yang disebut radikal/teror negara.

Dengan tetap mempertimbangkan latar belakang motiv dan kepentingan, isu radikalisme bernuansa agama menjadi bola liar atau bola panas yang terus menggelinding dan menghamtam siapa atau kelompok mana saja, terutama terhadap kelompok Islam. Akibatnya muncul berbagai opini atau stigma negative dan keliru. Seolah-olah setiap terjadi aksi radikal destruktif atau teror, identik dengan Islam. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari agenda setting atau framing baik secara sengaja ataupun tidak sengaja yang dilakukan oleh orang muslim maupun non muslim, khususnya kelompok Islamopobia untuk tujuan mendiskreditkan pemeluk Islam.

Padahal secara faktual dan empirik, radikalisme bernuansa agama dapat terjadi pada penganut agama manapun, seperti: Budha, Hindu, Kong Hu Cu, Sikh, Yahudi, Kristen, dan lain sebagainya. Bahkan bisa dilakukan oleh orang yang tidak menganut agama sama sekali. Dalam kontek Yahudi, radikalisme bernuansa agama dapat ditarik ke belakang hingga abad I M. Sementara aksi-aksi terorisme dan aneksasi tanah Palestina oleh Yahudi Israel merupakan bentuk aksi radikal dan aksi teror nyata dan paling keji di abad modern ini.  Sedangkan radikalisme  dan terorisme Kristen banyak bermunculan, terutama di negara-negara yang pemerintahannya sekuler seperti Amerika Serikat dan di Afrika Selatan.

Dalam perspektif sosiologis,  menurut  Azyumardi Azra, radikalisme sebagai bentuk perlawanan terhadap modernisasi, sekulerisasi dan identitas Barat; pendekatan hermeneutika, pengakuan pluralisme, pengakuan terhadap relativisme (keberagaman) dan pendekatan agama dengan analisis historis dan sosiologis. Segala bentuk perlawanan itu menimbulkan mentalitas kekerasan. Dalam kontek politik, munculnya berbagai kelompok radikal baik atas nama agama maupun non agama, sebagian sebagai respon, protes dan resistensi terhadap berbagai bentuk praktik keadilan dalam bidang ekonomi dan politik yang dilakukan oleh suatu regim/penguasa.

Dari Netral ke Destruktif

Pada awalnya, secara leksikal, kata radikal  mengandung makna netral.  Bahkan cenderung mengandung unsur positif.  Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily mengartikan kata radikal sebagai kata benda yang mengandung arti:  akar atau sampai ke akar-akarnya  (1990:36). Sementara Kamus Besar Indonesia mengartikan radikalisme yakni: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan (3)  maju dalam berpikir atau bertindak. (https://kbbi.web.id/radikal).