Dari Netral ke Destruktif
Pada awalnya, secara leksikal, kata radikal mengandung makna netral. Bahkan cenderung mengandung unsur positif. Kamus John M. Echols dan Hassan Shadily mengartikan kata radikal sebagai kata benda yang mengandung arti: akar atau sampai ke akar-akarnya (1990:36). Sementara Kamus Besar Indonesia mengartikan radikalisme yakni: (1) secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip): (2) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); dan (3) maju dalam berpikir atau bertindak. (https://kbbi.web.id/radikal).
Bila kata radikal berubah menjadi kata kerja, bisa mengandung dua kemungkinan makna, yakni: positif dan negatif. Positifnya berfikir atau bersikap radikal akan menstimulus seseorang untuk dapat mempelajari hingga menguasai ilmu pengetahuan secara mendalam dan mendasar. Seperti dilakukan pemikir, cendekiawan, dan ulama Ibnu Rusyd, Al Gozali, Albert Einstein, Plato, untuk menyebut sejumlah nama. Para pemikir tersebut mencapai predikat filosof setelah melalui proses berfikir secara radikal, mendalam dan tuntas. Karya intelektual mereka hingga kini terus dibaca, dikaji dan dijadikan bahan rujukan oleh para pembelajar generasi selanjutnya.
Dalam kontek ini, makna radikal sebagai kata benda dan terutama kata kerja menjadi energi positif untuk kepentingan pengembangan riset dan inovasi di bidang ilmu pengetahuan. Karenanya radikalisme positif tidak diperlukan deradikalisasi atau kontra narasi radikalisme. Sebab jika dilakukan, justeru berpotensi akan memasung atau mengebiri kreativitas dan inovasi seseorang atau suatu kelompok. Bahkan bangsa ini bakal mengalami kemunduran dan ketertinggalan secara terus menerus, khususnya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seiring dengan perjalanan waktu, makna radikal yang semula netral atau positif lalu oleh segelitir orang dilakukan pergeseran pemaknaan dan pensikapan serta pabrikasi menjadi negatif dan bahkan destruktif. Khususnya ketika term radikalisme dikaitkan dengan agama, apalagi Islam. Guna mencegah terjadinya kesalahpahaman dan manipulasi tersebut, Ketua MUI KH. Ma’ruf Amien, memberikan ciri-ciri radikal destruktif keagamaan, yakni: pertama, fanatik mazhab dan tidak mau mengakui pendapat orang lain. Kedua, mempersukar diri dalam melakukan kewajiban. Ketiga, bersikap kasar dan keras. Keempat, mudah mengkafirkan. (2007: 84-88).
Bukan hanya radikal destruktif, MUI juga bersikap kritis dan korektif terhadap paham atau doktrin liberal yang bernuansa agama yang telah bermetamorfosis menjadi paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (Sepilis). Hal ini dibuktikan dengan diterbitkannya fatwa No:7/Munas VII/MUI/II/2005 tentang Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme Agama (Trilogi Pembaharuan). Seraya menyatakan, Trilogi Pembaharuan yang diusung oleh kelompok Islam Liberal tersebut sesat. [rif]