Oleh: Dr. Ellys Lestari Pambayun, M.Si.,
Dosen Prodi Komunikasi Institut PTIQ Jakarta dan Founder Gerakan Cerdas Komunikasi Indonesia (GCKI)
TAK dipungkiri dalam ilmu komunikasi, primadona yang dimiliki adalah public relations, jurnalistik, komunikasi politik, komunikasi pemasaran, sosiologi komunikasi, psikologi komunikasi, dan lainnya. Sedangkan, filsafat komunikasi dengan “sunyi” atau bahkan bersembunyi dalam sudut hingar bingar era milenial. Apalagi bila dalam studi Islam, hampir jarang filsafat komunikasi muncul untuk diwacanakan secara serius dan berkelanjutan. Padahal, komunikasi, filsafat, dan Islam adalah suatu aspek yang integral. Karena, komunikasi dan filsafat adalah ilmu pengetahuan yang memiliki objek material dan formal yang sama, dan ilmu pengetahuan tak akan pernah ditemukan tanpa upaya akal dan intuisi yang diberikan Allah Swt.
Komunikasi adalah perspektif tentang bagaimana seorang pembawa pesan mentransmisikannya kepada orang lain agar mendapat ilmu dan pengetahuan, mendapat jawaban dari pertanyaan dalam benaknya. Dari hal tersebut, filsafat berperan bagi para pemikir yang mencoba membantu menjawab dirinya dan masyarakatnya, baik dengan teori dan metodologi yang dikuasainya maupun secara spekulatif, meski bisa jadi kontradiktif.
Butchart (2012) menjelaskan Socrates, Plato, dan Aristoteles adalah para filsuf yang telah banyak mengontribusi tentang bagaimana sesungguhnya manusia berbicara dan berkomunikasi dalam dunianya. Karena, filsafat dan komunikasi telah menjadi milik bersama sejak awal—filsafat sendiri muncul dan memantapkan pijakannya melalui komunikasi—masuk akal jika kita menjadikan komunikasi sebagai penelitian filosofis.
Para filsuf klasik ini melalui himpunan karyanya telah membawa komunikasi kembali ke orbit filsafat. Meski, memunculkan berbagai kontradiktif dan kontroversi. Asumsinya, filsafat komunikasi sebagai anak kandung ilmu pengetahuan Barat masih memiliki kontradiksi jawaban dalam pandangan tentang dunia (worldview) dan ideologi manusia di muka bumi. Salah satunya perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan ilmu komunikasi yang lebih dikenal dengan epistemologi.
Terlebih lagi, di di era 4.0 ini di mana konstruksi epistemologi yang telah mewarnai kajian filsafat komunikasi dan Islam, sehingga menjadi dua kekuatan yang berbeda dalam menjawab permasalahan-permasalahan kehidupan komunikasi manusia. Warna dan corak filsafat komunikasi yang bersumber filsafat zaman Yunani Kuno dengan kekuatan logikanya sebagai pijakan pemikiran Barat yang kemudian menjadi kiblat dalam memecahkan persoalan komunikasi manusia para penganutnya yang berbeda-beda secara intelektual. Sehingga produk pemikiran pada filsafat komunikasipun lahir beragam corak dan warna.
Para pemikir komunikasi Islam, seperti Hamid Mowlana, Dilnawaz A.Siddiqui, Majid Tehranian, Abdul Muis, Andi Faisal Bakti, Jalaluddin Rakhmat, Aijaz Ahmad Bhat, dan lainnya secara tajam dan serius menyerukan bahwa Islam sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan manusia memberikan landasan berpikir dan jawaban pada seluruh permasalahan komunikasi manusia melalui ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang bermuara dari wahyu (Al-Qur’an). Seluruh pemikiran para ahli komunikasi Muslim tentang persoalan komunikasi manusia, termasuk persoalan filosofis ditegaskan secara absolut diberikan jalan keluarnya oleh al-Qur’an yang kemudian bisa kita interpretasikan secara logis yang akhirnya terformulasikan dalam Filsafat Komunikasi Islam.