BARISAN.CO – PLN Batubara ditengarai menjadi biang keladi krisis pasokan batubara ke PLN. Atas dasar itu, Kementerian BUMN berencana akan membubarkannya.
Pahala Nugraha Mansury, Wakil Menteri BUMN I, sebagaimana mengutip dari Kontan (12/1/2022), mengatakan, pihaknya merencanakan dalam 1-2 bulan ke depan akan segera merampungkan aspek legal untuk pembubaran tersebut.
Sebelum pembubaran, Kementerian BUMN harus merampungkan banyak hal, mulai dari penyelesaian kontrak-kontrak pengadaan hingga penghitungan kembali jumlah aset perusahaan.
Untuk itu, dalam kesempatan yang lain, melansir dari Okezone (14/1/2022), Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN menerangkan bahwa pihaknya masih mengkaji secara teknis pembubaran PLN Batubara.
Anak Usaha PLN
PLN Batubara adalah anak usaha PLN yang bergerak di bidang perdagangan batu bara yang berdiri sejak 11 Agustus 2008.
Pada 2009, barulah PLN Batubara beroperasi secara komersial. Dan, tercatat dalam laporan tahunan PLN 2020, kepemilikan 99,99 persen saham PLN Batubara berada di tangan PLN.
Sedari awal, Pendirian PLN Batubara bertujuan untuk memastikan ketersediaan pasokan batu bara PLTU milik PLN dan anak usahanya dengan harga yang efisien.
Maka itu, PLN Batubara memiliki 5 sumber tambang batu bara untuk memenuhi kewajiban itu. Diantaranya, pengembangan kerja sama untuk trading batu bara, perusahaan afiliasi, dan anak perusahaan.
Penyebab Krisis Pasokan Batu Bara
Buruknya tata kelola hulu-hilir pasokan batu bara adalah penyebab gagalnya PLN Batubara menyediakan batu bara untuk PLN.
Merujuk pada Keputusan Menteri ESDM No. 255.K/30/MEM/2020 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri, mestinya PLN Batubara memproduksi minimal 25 persen batu bara dari produsen batu bara dengan harga maksimal untuk pembangkit listrik (HBA) senilai USD 70 per ton.
Jauh panggang dari api, PLN Batubara malah berkontrak dengan trader atau makelar batu bara untuk memenuhi kebutuhan pasokan mereka. Pantaslah harganya lebih mahal, sehingga membuat berang pemerintah.
Karena itu, pemerintah rencananya bakal mereformasi PLN seperti Pertamina, dengan membentuk subholding-subholding sesuai dengan unit usaha. Dengan skema itu, harapannya PLN bakal menjadi lebih transparan.
Selain mengefisienkan proses bisnis PLN, reformasi tersebut juga dalam pembacaan Erick Thohir, Menteri BUMN, mengutip dari Kontan (11/1/2022), menyimpan potensi keuntungan yang besar.
Dengan memisahkan bisnis PLN ke bisnis ritel, pembangkit, dan transmisi, maka PLN dapat memperoleh keuntungan dari masing-masing bisnis itu.
Misalnya saja, dari sisi pembangkit, PLN dapat memasok kebutuhan listrik dari beberapa negara, seperti Singapura dengan kebutuhan tenaga surya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya, atau Korea Selatan dan Jepang yang membutuhkan baterai atau energy storage.
Solusi Lain
Mengutip Warta Ekonomi (17/1), Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) justru mempunyai pandangan yang berbeda. Menurutnya, ketimbang mengubah fungsi Domestic Market Obligation (DMO) yang ada dengan membentuk Badan Layanan Umum (BLU) sebaiknya pemerintah lebih dulu fokus membenahi tata kelola.
Peluang pembenahan internal masih terbuka, sehingga PLN Batubara sejatinya belum begitu urgen untuk dibubarkan.
Menurut Bhima, pemerintah bisa fokus mengefisiensikan rantai distribusi pasokan batu bara. Dimana selama ini ternyata penyakitnya adalah PLN Batubara yang tidak membeli batu bara ke produsen, tapi malah ke trader.
Selain itu, kontrak pembelian jangka pendek turut menjadi masalah krisis pasokan batu bara. Maka, ke depan, PLN Batubara dapat memperpanjang durasi kontrak minimun satu tahun.