Scroll untuk baca artikel
Blog

Menteri versus Pedagang Kelontong

Redaksi
×

Menteri versus Pedagang Kelontong

Sebarkan artikel ini

RUMAH saya dekat Dipo Kereta Commuterline Indonesia terbesar, tepatnya di Depok Lama, Kota Depok, Jawa Barat. Panjangnya sejauh mata memandang. Sangat luas dan dibangun dengan teknologi dari Jerman.

Setiap menjelang subuh, suara lolongan kereta yang akan melaju selalu menjadi alarm untuk segera bangun. Suara kereta dan klakson terompetnya menjadi irama keseharian.

Aktivitas kerja pun tak lepas dari kereta. Bagi sebagian penglaju, naik kereta memang masih perjuangan. Tapi itu hanya dirasakan beberapa menit atau beberapa jam saja, itu pun pada pagi dan sore hari.

Saya yang berangkat siang hari dan pulang menjelang larut, sangat menikmati layanan kereta. Kalau lelah bisa duduk dan tidur (kadang saking lelapnya bisa bablas hingga stasiun Bogor harusnya di Stasiun Depok Lama), juga bisa membaca buku atau nulis esai pakai smartphone. Sangat nyaman.

Jadi, ketika terjadi perdebatan para elite di negeri ini (Kemenhub, Kemenperin dan Kemen BUMN) soal rencana PT KCI impor kereta dari Jepang, saya hanya bisa tersenyum pahit.

Bisa-bisanya para elite negeri ini yang sehari-hari tidak pernah menggunakan commuterline merasa paling hebat dan sok tahu. Perdebatan yang tidak produktif dan merusak mood para buruh yang akan bekerja.

Publik tidak butuh perdebatan apalagi merasa satu kelompok paling hebat dan merasa paling cinta produk Indonesia. Bukan pada tempatnya lagi saya disuguhi pilihan: pilih produk luar negeri dan bekas atau buatan dalam negeri tetapi belum ada kepastian kapan produksinya.

“PT Industri Kereta Api (INKA) bisa membuat itu semua, kenapa kita harus impor kereta api dari Jepang. Katanya kita bangga beli buatan Indonesia. Bangladesh saja membeli produk kereta kita,” kata Sekretaris Jenderal Kemenperin Dody Widodo yang viral.

Sekilas suara Kemenperin itu sangat heroik dan pancasilais. Namun, publik tidak butuh jargon. Toh, selama ini pelanggan kereta api sudah merasakan pelayanan kereta termasuk tidak mempermasalahkan kereta itu bekas atau baru.

Kereta bekas sudah pasti murah. Untuk sepuluh rangkaian kereta sedikitnya dari Jepang, PT KCI perlu dana Rp150 miliar. Tapi publik tahu, kereta bekas itu bukan dari China, misalnya. Itu kereta bekas dari Jepang.

Dalam bawah sadar publik, Jepang adalah jaminan kualitas. Mau baru atau bekas kalau produk Jepang tidak disangsikan lagi kualitasnya. Belum lagi kemudahan untuk mendapatkan onderdil (sparepart) dan asistensi teknologi. Jepang adalah negara yang memiliki sistem jaringan dan teknologi perkeretaapian terbaik di dunia.

PT KCI sudah menginformasikan bahwa ada 10 unit rangkaian kereta pensiun tahun ini dan 19 unit lagi pada 2024 dari total 106 rangkaian. Dari satu rangkaian rata-rata 8, 10 dan 12 gerbong. Bisa dibayangkan pelayanan kereta bisa sangat kacau.

Setelah pandemi Covid-19 sehari PT KCI mengangkut 800 ribu penumpang. Dan pada 2004 ditargetkan sudah dapat mengangkut 1 juta penumpang.

Juru Bicara PT KCI Ane Purba dalam perbincangan dengan wartawan menyatakan rencana impor rangkaian kereta tidak masuk dalam penambahan kapasitas. Untuk penambahan kapasitas, PT KCI akan mengandalkan 16 rangkaian kereta yang sudah dipesan dari PT INKA dan pesanan baru selesai pada 2025. Intinya, impor itu untuk mengganti kereta yang pensiun dan sudah tidak layak lagi digunakan.

Tentu, saya sangat mendukung PT KCI menggunakan kereta buatan dalam negeri. Karena selain dukungan kepada produk bangsa juga akan semakin banyak menyerap banyak tenaga kerja Indonesia.

Tetapi kondisi psikologis PT KCI juga saya sangat paham. Kereta paling anyar saja ada batasnya untuk dipensiunkan. Apalagi kereta bekas.