Sejak 2018, Singapura melarang memiliki, membeli, dan menggunakan vaporiser termasuk rokok elektrik, pipa elektrik, dan cerutu elektrik.
BARISAN.CO – Kemunculan rokok elektronik di dunia dimulai puluhan tahun lalu. Penciptanya adalah Herbert A. Gilbert. Dia menemukan sesuatu yang digambarkan sebagai rokok non-tembakau di mana larutan nikotin dipanaskan untuk menghasilkan uap. Walaupun, ini bentuk pertama, tidak ada produk yang diproduksi.
Kemudian, pada tahun 1979, Dr Norman Jacobson menemukan bentuk awal rokok elektrik yang disebut rokok Favor. Perangkat ini memberi pengguna cara untuk menghirup nikotin tanpa asap. Dr Jacobson juga salah satu orang yang membuat kata ‘vaping’ menjadi populer.
Pada tahun-tahun berikutnya, tidak ada perbaikan atau perkembangan dalam rokok elektronik. Penemuan itu pada dasarnya diabaikan.
Pada tahun 60-an dan 70-an, rokok dianggap sebagai bagian normal dari kehidupan, mereka diizinkan di mana saja dengan sedikit perlawanan. Bahkan, efek samping yang berbahaya diabaikan, sementara kampanye iklan terus berkembang.
Pada pergantian abad, kebiasaan gaya hidup baru bermunculan. Ada perubahan besar terhadap kesehatan dan perawatan tubuh. Ini berarti, merokok sangat ditargetkan oleh pemerintah dengan peraturan baru, kemasan dan pajak yang dikenakan padanya, lebih banyak perokok dari sebelumnya yang mencoba untuk berhenti dan pandangan tentang rokok secara keseluruhan sangat negatif.
Barulah, tahun 2003, seorang apoteker dari China bernama Hon Lik menemukan kembali rokok elektronik dengan desain yang diperbarui. Tentu saja, lebih maju dari penemuan Herbert A. Gilbert pada tahun 1963.
Cig-a-likes ini menjadi hit semalam di pasar Cina dan segera menemukan jalan mereka ke negara-negara tetangga. Mereka membuat lompatan besar ke luar negeri, Eropa dan Amerika Serikat pada tahun 2007. Ini menjadi kesempatan bagi vaping jauh lebih booming dari sebelumnya.
Sejak tahun 2012 dan seterusnya, penelitian ekstensif dan berkelanjutan telah dilakukan mengenai efek rokok elektrik terhadap kesehatan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ada ratusan laporan yang saling bertentangan, banyak yang mendiskreditkan manfaat e-cigs, dan bagaimana mereka kurang berbahaya daripada rokok konvensional.
Terlepas dari itu, rokok elektrik telah dilarang di sejumlah negara dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu pelarangannya dilakukan pemerintah Singapura.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah menyatakan, vaping bukan terapi yang sah untuk membantu perokok berhenti karena kurangnya bukti ilmiah.
Berdasarkan bagian 16 (2A) Undang-Undang Tembakau (Pengendalian Iklan dan Penjualan), memiliki, membeli, dan menggunakan vaporiser termasuk rokok elektrik, pipa elektrik, dan cerutu elektrik dilarang sejak 1 Februari 2018.
Menjual, memiliki untuk dijual, mengimpor atau mendistribusikan rokok elektrik dan komponen terkait dianggap pelanggaran. Bagi pihak yang terbukti bersalah dapat didenda hingga S$10.000 dan/atau penjara hingga 6 bulan. Sementara, pelanggar berulang dapat dikenakan denda hingga S$20.000 dan/atau penjara hingga 12 bulan.
Sedangkan, bagi pengguna dan pemilik vape didenda hingga S$2000. Health Sciences Authory (HSA) Singapura bekerja sama dengan pihak Otoritas Imigrasi dan Pos Pemeriksaan untuk menegakkan larangan vaping mencatat, beberapa importir ilegal mengubah taktik menghindari deteksi seperti menyembunyikannya di perlengkapan pencahayaan.
Badan Singapura tersebut menambahkan, pihaknya mengambil tindakan tegas terhadap penyelundupan dan telah meningkatkan kewaspadaan serta penegakan hukum.
Menteri Kesehatan Singapura, Koh Poh Koon, menyampaikan pada Januari lalu, kaum muda di sana tidak lagi menganggap merokok sebagai hal glamor dan sadar akan bahayanya, namun tertarik pada roko elektrik yang diperoleh, meski dilarang.