BARISAN.CO – SAYA mengenal Gus Dur saat saya bekerja di Lajnah Ikhtiar Jakarta (LIJ) Cak Nun, berkantor di bilangan Pasar PSPT Tebet Jakarta. Terutama saat kami menggarap biografi seorang jendral di era orde baru, Tadjus Sobirin. Tadjus meminta pengantarnya Gus Dur.
Maka melalui Syaifulah Yusuf, kemenakan Gus Dur, mengingat kondisi, ditulislah pengantar lisan. Lanjut saya yang bertugas mengetik naskah tulisan tangan itu. Ajaib, saya tidak melakukan editorial. Tidak ada satu kata pun yang diralat, bahkan titik koma, tepat.
Mungkin dari kenangan itu, tadi malam saya bermimpi mengantar Gus Dur. Ajaib, baru ini saya mimpi dan ingat seluruh ‘film’ mimpi itu: tokoh, dialog, lokasi, waktu, tujuan, beserta pemeran pembantu dan figuran serta properti.
Jadi siang itu saya mengantar Gus Dur di stasiun Brebes. Tujuan kami mau ke Tegal, satu jarak yang dekat (sekitar 10 km). Saya mendorong Gus Dur di kursi roda, menanti kereta di antara para calon penumpang.
Seorang ibu-ibu berhijab menunduk, “ini Gus Dur ya…” Gus Dur cuma tertawa, sambil menengok saya, dan saya yang menjawab, “iya, Bu, ini Gus Dur.
Menyadari keamanan tidak kondusif, saya berusaha wa Gus Firhad atau Gus Lutfi AN , tapi ponsel saya selalu gagal menulis. Maksud saya, bagaimana kalau salahsatu dari mereka bermobil mengantar kami.
Lalu inilah dialog Gus Dur dan saya yang saya ingat…..
GD: eh, kita baiknya puasa nggak ya
ET: Monggo kerso
GD: Habis tadi kita ketiduran, jadi nggak makan sahur
ET: Padahal kita di Tegal ya
GD: Kok?
ET: Kan banyak warteg
Gus Dur pun tertawa. Tapi ekspresi tawa Gus Dur seperti antara lucu dan amarah.
Saya terbangun sebelum subuh, oleh aktivitas rutin isteri saya di dini hari.
Menurut ilmu Jowo, mimpi pada jam-jam itu termasuk Puspo Tajem. Satu mimpi yang akan terjadi dalam kehidupan nyata. Berbeda menurut Bolodewo, dalam pedalangan Ki Seno Nugroho: mimpi ya mimpi, cuma bunga orang tidur.
Pagi tadi saya lantas membuka FB, saya baca status Gus Lutfi AN tentang kekuasaan Tuhan. Di situ saya berkomen: status ini masih menyebut Tuhan, belum Allah. Ditanggapi oleh Gus Bustanul Arifin : tiada Tuhan selain Tuhan. Saya tetap ngeyel: masih menyebut Tuhan.
Gus Bustanul pun mengingatkan: bukankah menurut GD, Tuhan tidak perlu dibela. Saat itu saya tidak paham, siapa yang dimaksud dengan initial GD. Baru saat menulis ini saya ingat, oh Gus Dur.
Beda mungkin bagi saya, bahwa mimpi ada dalam atmosfir rasa. Bisa jadi saya sedang merindukan sahabat-sahabat saya tersebut, atau sebaliknya.
Atau saya tengah merindukan Gus Dur. Atau, sebaliknya?
Saya memang pernah berpikir, bagaimana kalau dalam situasi dan kondisi negeri seperti ini, Gus Dur masih hidup. Situasi dan kondisi serba repot, ibarat sudah jatuh tertimpa Corona.
Satu sikon yang tidak bisa dipastikan secara ilmiah, akademi, atau teori filsafat mana pun. Namun, saya berkeyakinan, mampu dipecahkan oleh kewaskitaan seorang begawan. Tingkat kepandhitaan, yang telah sampai pada kebijaksanaan seorang waliullah, yang titis dan jitu dalam menerjemahkan isyarat langit.
Kerepotan yang melanda semua sendi kehidupan bangsa dan negara; sosial, ekonomi, politik, keamanan, budaya hingga agama. Apakah Gus Dur akan tetap bersabda: begitu saja kok repot.
Bisa jadi juga, mimpi itu dari pikiran.***