Scroll untuk baca artikel
Kolom

Minhajul ‘Abidin: Taubat Ekologis

×

Minhajul ‘Abidin: Taubat Ekologis

Sebarkan artikel ini
taubat ekologi minhajul abidin
Ilustrasi

Padahal dalam Minhajul ‘Abidin, taubat bukan soal sindiran, melainkan jalan pulang untuk manusia yang telah merusak bumi dan dirinya sendiri.

𝗕𝗘𝗡𝗖𝗔𝗡𝗔 yang melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, bukannya empati dan segera mengatasi malahan pejabatnya saling sindir soal siapa yang perlu “bertaubat”.

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar meminta Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni dan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia untuk melakukan taubat nasuha.

Lalu, Bahlil membalas bahwa hanya Presiden Prabowo yang berhak memerintah dirinya, sambil menyarankan agar Muhaimin Iskandar, Raja Juli Antoni, dan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq juga ikut bertaubat.

Memang sejak kapan taubat dilakukan karena perintah atasan? Mengapa konsep ibadah dijadikan bahan sindiran politik? Dan masihkah taubat bermakna jika digunakan sebagai alat serang, bukan sebagai kesadaran pribadi di hadapan Tuhan?
Entahlahhh…

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Minhajul ‘Abidin, menggambarkan perjalanan seorang hamba menuju ibadah yang bermutu sebagai rangkaian tanjakan maupun tahapan atau dalam istilah disebut ’aqabah.

‘Aqabah ini merupakan serangkaian proses dan ujian yang harus dilewati agar ibadah seseorang benar-benar berbuah. Ada tujuh tahapan, dan salah satu yang paling fundamental adalah taubat. Tanpa taubat, seluruh tanjakan lain seperti ilmu, makrifat, menghadapi godaan, rintangan, pendorong, celaan atau melatih puji dan syukur tidak akan pernah kokoh.

Al-Ghazali menempatkan ibadah sebagai tujuan akhir, tetapi perjalanan menuju ke sana tidak pernah mudah. Ibadah bukan sekadar rutinitas; ia adalah perjalanan berat yang penuh jebakan, gangguan, dan persimpangan.

Sementara manusia sendiri hakikatnya lemah, mudah sibuk dengan urusan dunia, dan setiap hari berjalan semakin dekat dengan ajal. Dalam kondisi seperti ini, satu-satunya modal paling kuat adalah ketaatan dan ketaatan itu membutuhkan hati yang bersih.

Namun, bagaimana seseorang bisa taat bila ia masih tenggelam dalam kesombongan, maksiat, berbuat kerusakan dan kebiasaan buruk? Bagaimana bisa menghadap Allah jika hatinya penuh debu dan noda? Di sinilah pintu pertama yang harus dilalui seorang hamba: taubat sungguh-sungguh.

𝗧𝗮𝘂𝗯𝗮𝘁 𝗘𝗸𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶𝘀
Imam Al-Ghazali menjelasakan dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulumuddin, bahwa taubat bukan sekadar ucapan istighfar. Ia terdiri dari tiga lapisan: pengetahuan, rasa, dan tindakan.

Seseorang perlu tahu bahwa dosa itu berbahaya dan menjadi penghalang besar antara dirinya dan segala hal yang dicintai Allah. Kesadaran itu kemudian melahirkan rasa sesal yang tulus. Dari rasa sesal itulah muncul tindakan nyata untuk berhenti, memperbaiki diri, dan menutup pintu yang pernah membawanya jatuh.