Scroll untuk baca artikel
Kolom

Minhajul ‘Abidin: Taubat Ekologis

×

Minhajul ‘Abidin: Taubat Ekologis

Sebarkan artikel ini
taubat ekologi minhajul abidin
Ilustrasi

Sementara dalam Minhajul ‘Abidin, taubat dipahami sebagai keberanian meninggalkan dosa, baik yang sudah dilakukan maupun yang berpotensi dilakukan semata-mata karena Allah.

Bukan karena takut diperintah atasan, dipermalukan, kehilangan jabatan, atau didesak keadaan. Taubat hanya sah ketika dilakukan karena rasa cinta kepada Allah dan ketakutan akan murka-Nya.

Nabi Muhammad Saw sendiri, meski terjaga dari dosa, tetap memperbaharui taubatnya setiap hari. Beliau beristighfar hingga seratus kali dalam sehari semalam. Contoh ini menunjukkan bahwa taubat bukan hanya jalan untuk orang yang jatuh dalam kesalahan, tetapi juga jalan untuk menjaga kejernihan hati.

Al-Ghazali menyebutkan dua alasan mengapa taubat itu wajib. Pertama, karena dosa menutup pintu-pintu ketaatan dan membuat hati menjadi gelap, keras, dan sulit menerima kebenaran. Kedua, karena tanpa taubat, ibadah tidak memiliki fondasi yang kuat.

Ibarat rumah, sebaik apa pun atap dan dindingnya, semuanya sia-sia bila fondasinya rapuh. Bagaimana mungkin amal baik diterima bila kita tidak menghapus kotoran yang menghalangi?

Untuk itu, taubat harus memenuhi beberapa syarat: meninggalkan dosa sepenuh hati, berhenti dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan, meninggalkan dosa lain yang sejenis, melakukan taubat secepat mungkin, memperbanyak kebaikan, dan bertekad tidak kembali pada kesalahan yang sama. Taubat bukan hanya tentang berhenti, tetapi juga tentang berubah.

Ada pula tiga kesadaran awal yang perlu muncul sebelum seseorang mampu bertaubat dengan sungguh-sungguh: menyadari bahwa dosa adalah sesuatu yang buruk, mengingat kerasnya hukuman Allah, dan memahami betapa lemahnya diri ini dalam menghadapi murka-Nya. Tanpa kesadaran ini, niat taubat akan mudah patah.

Oleh karena itu di tengah rangkaian bencana yang datang silih berganti di Indonesia seperti banjir besar, longsor, kekeringan ekstrem, dan cuaca tak menentu, kita sering terjebak pada seruan taubat yang hanya dipahami sebagai urusan moral pribadi dan kini jadi komoditas politik.

Sungguh, taubat tidak berhenti pada hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mencakup hubungan manusia dengan alam. Kerusakan lingkungan bukan sekadar persoalan teknis atau cuaca, melainkan cermin dari cara kita memperlakukan bumi.

Taubat dalam pengertian ini bukan hanya meninggalkan maksiat secara pribadi, tetapi juga berhenti merusak tanah, air, hutan, dan udara. Ia menuntut kesadaran bahwa alam adalah amanah, bukan komoditas yang boleh dieksploitasi tanpa batas.

Karena itu, taubat ekologis menjadi kebutuhan yang mendesak bagi bangsa yang setiap tahun dihantam bencana. Ia mengajak kita bertanya: bagaimana mungkin kita memohon perlindungan kepada Allah, tetapi pada saat yang sama membiarkan lingkungan rusak oleh tangan kita sendiri?