Scroll untuk baca artikel
Kolom

Motivasi Utang

Suroto
×

Motivasi Utang

Sebarkan artikel ini
motivasi utang
Ilustrasi foto/Pexels.com/fajri nugroho

Utang di era Jokowi saat ini jumlahnya membengkak drastis hingga posisi utang pemerintah per 30 April 2023 mencapai Rp 7.849,89 triliun rupiah.

DEBAT tentang utang negara selama ini seringkali dilepaskan dari motivasinya. Debat berjilid jilid tentang utang itu hanya mempersoalkan dampak fiskalnya, kemampuan bayar dan juga fungsi akselerasinya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Melupakan hal yang krusial, motivasi di balik penyelenggaraan utang. Padahal, masalah utang itu timbul sebetulnya berasal dari fungsi dibalik motivasi para pemberi utang.

Logika sederhananya dapat kita samakan dengan utang individu dari sebuah bank. Tentu tidak ada bank yang memberikan utang kepada seseorang itu motifnya semata ingin membantu pengutang. Bank itu bukan panti sosial yang memberikan makan siang gratis.

Demikian juga utang negara. Negara negara maju pemberi utang bagi negara miskin dan berkembang seperti Indonesia itu memuat motif tersembunyi. Tidak ada utang negara itu yang diberikan gratis.

Untuk alasan tersebut maka kita mendapat jawabanya kenapa pasa tahun 1980 an, proposal penghapusan utang negara miskin dan berkembang oleh Prof Jan Timbergen, penerima Nobel Ekonomi ini ditolak negara negara maju.

Sebab utang itu dijadikan oleh meeeka sebagai pintu masuk untuk menguasai apa yang kita miliki.

Proposal Timbergen soal rencana penghapusan utang luar negeri dari negara negara miskin dan berkembang oleh negara maju dengan alokasikan sekian persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara maju ditolak oleh negara maju karena negara negara maju itu paham bahwa utang punya fungsi ganda yang menjadikan madu sekaligus narkoba bagi negara miskin dan berkembang.

Padahal tujuan Timbergen mulia, agar negara negara miskin dan berkembang itu dapat segera bebas dari utang dan tentukan arah pembanguna negaranya sendiri.

Dalam skemanya, utang negara miskin dan berkembang itu didatangkan pada dua kondisi. Pertama ketika negara miskin dan berkembang dalam situasi sedang hadapi krisis ekonomi dan saat negara miskin dan berkembang itu ingin merancang pembangunanya.

Ini semua dirancang sedemikian rupa dalam satu komitmen kerjasama palsu dari negara negara pemberi utang dalam konsesi internasional.

Konsensus Washington yang memberikan syarat pemberian utang secara gamblang mensyaratkan tiga matra utama sebagai kewajiban untuk negara miskin dan berkembang, yaitu kewajiban lakukan deregulasi, liberalisasi dan privatisasi.

Kita dipaksa untuk menerima utang dengan komitmen untuk meliberalisasi pasar domestik kita. Semua arus barang dan jasa bebas masuk tanpa pajak atau bea masuk. Kemudian kita juga dipaksa untuk melakukan deregulasi.

Menghapus seluruh peraturan yang menghambat masuknya investasi asing. Ketiga kita juga dipaksa untuk lakukan privatisasi atau membolehkan seluruh layanan publik kita seperti penyelenggaraan pendidikan, kesehatan dan lain lain sebagai kapling baru dari bisnis atau lebih populer istilahnya sebagai komersialisasi dan komodifikasi barang publik. Sebuah skema palsu kerangka kerjasama yang akhirnya mencekik kita hingga saat ini.

Kita dapat lihat dari dua kasus utama yang terjadi di negara kita. Pada saat kita hadapi krisis ekonomi tahun 1997 misalnya, utang negara kita membengkak dan habis digunakan untuk mentalangi bank yang bangkrut dengan biaya kurang lebih 640 trilyun (atau sekitar 2000 trilyun saat ini).

Dimana kemudian utang tersebut juga banyak yang teryata dengan sengaja dibawa lari keluar negeri para bankir kelas warga negara bermental penumpang di republik dan sampai saat ini terus menyisakan masalah yang tidak kunjung selesai.

Michel Camdessus, direktur utama International Monetary Fund (IMF) pada saat krisis 1997 itu dengan sikap sombong telah memaksa kita untuk menerima utang yang diberikan saat krisis ekonomi dengan berbagai syarat. Pada intinya adalah agar kita mau menerima skema Konsensus Washington.