Oleh: Ahmad Fahrudin,
salah seorang Dewan Hakim MKTI, Dosen Universitas PTIQ
BARISAN.CO – Menyaksikan langsung dari dekat pelaksanaan Musabaqah Karya Tulis Ilmiah Isi Kandungan Al-Qur’an (MKTI) yang menjadi salah satu cabang Musabaqah Tilwatil Qur’an Mahasiswa Tingkat Nasional (MTQMN) ke-XVII pada 3-10 November 2023 di Universitas Brawijaya (UB), Malang, membersitkan ekspektasi dan optimisme tinggi. Optimisme tersebut dibuktkan dengan melimpahnya jumlah peserta, atau tepatnya 2.285 talenta emas dari 250 Perguruan Tinggi (PT) se-Indonesia yang berkompetisi di 15 cabang lomba. Talenta-talenta emas tersebut merupakan investasi strategis dan jangka panjang guna meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban luhur, serta untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045.
Pembukaan MTQMN sendiri dilaksanakan Sabtu (4/11) di halaman Rektorat UB dalam suatu upacara yang cukup meriah. Dihadiri antara lain Kepala Badan Pengembangan Talenta Indonesia (BPTI) Asep Sumayadi, Wali Amanat UB Mahfud MD, Rektor UB Widodo, Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi Sri Nuning Kusumawardani. Serta peserta, dewan juri, dan perwakilan pimpinan perguruan tinggi yang mengikuti MTQMN.
Dalam sambutannya, Wali Amanat UB Prof. Mahfuf MD menekankan akan pentingnya integrasi iman, ilmu dan takwa sebawai ikhtiar mewujudkan Indonesia yang lebih maju dan berperadaban dalam semangat ukhuwwah Islamiyah, ukuhuwwah basyariah dan ukhuwaah wathaniyah. Sementara Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Prof. Sri Suning Kusumawardani mengharapkan, kompetisi ini mendorong dan mempromosikan pembelajaran Al-Quran di kalangan mahasiswa, serta menjadi platform untuk mendalami peran mahasiswa dalam memahami Al-Quran.
Prestius dan Bergengsi
Seperti cabang lomba lainnya, MKTI mempunyai kekhasan karena esensi yang dilombakan adalah isi kandungan Al-Qur’an yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, baik ilmu yang masuk dalam rumpun eksakta maupun humaniora. Selain itu, cabang lomba ini berkaitan langsung dengan implementasi tri darma perguruan tinggi dan bisa dijadikan salah satu parameter atau bencmariking suatu perguruan tinggi, selain dapat menjadi tambahan angka kredit poin saat akreditasi institut, fakultas atau program studi. Oleh karena itu, MKTI merupakan ajang kompetisi bergengsi dan prestisius. Maka wajar pula, manakala banyak peserta berusaha keras dan bersaing untuk meraih prestasi tinggi dan maksimal.
Semangat atau spirit tersebut demikian terpatri dan terpantulkan pada peserta MKTI yang berasal dari perwakilan 50 perguruan tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam karya tulis, presentasi ataupun instrument pendukungnya seperti: prototipe hasil karya tulis. Sebanyak 50 peserta tersebut merupakan hasil seleksi awal dari sekitar seratusan karya tulis yang masuk ke panitia. Proses seleksi awal tersebut diposisikan sebagai babak penyisihan. Sedangkan babak finalnya digelar pada 5-8 November 2023. Ini belum menghitung proses seleksi di masing-masing kampus yang dilakukan sebelum tampil di MTQMN untuk cabang MTKI. Maka wajar manakala setiap delegasi/perwakilan peserta sangat berharap dapat meraih prestasi terbaik pada lomba ini.
Meskipun demikian, Wakil Ketua Dewan Hakim MTQMN Yusnar Yusuf Rangkuti mengingatkan, semangat kompetisi harus dibarengi dengan akhlak Qur’ani. Hal tersebut diungkapkannya saat mengumpulkan semua dewan hakim dalam suatu acara bertajuk “Orentasi Dewan Hakim”, satu hari sebelum acara MTQMN digelar. Saat itu Yusnar didampingi antara lain Sekretaris Dewan Hakim Afudz Mahfudz serta Pengawas Dewan Hakim Djawahir Tanthowi. Bahkan secara khusus Yusnar Yusuf yang juga dikenal sebagai qari nasional ikut dalam rapat teknis dewan hakim MKTI. Seraya menekankan pentingnya dewan hakim berpedoman kepada pedoman lomba, kode etik (code of conduct) dan berlaku objektif saat memberikan penilaian terhadap semua peserta tanpa ‘pandang bulu’.

Sementara pada acara penutupan di Gedung Samantha Krida, Kamis (9/11/2023), Ketua Dewan Hakim MTQN XVII Prof. Said Agil Husin Al-Munawar membacakan para pemenang dari 15 cabang lomba. Serta menetapkan Universitas Brawijaya sebagai Juara umum dengan nilai 88. Kemudian juara kedua adalah Universitas Negeri Malang (UM) dengan nilai 50 dan ketiga Universitas Islam Indonesia (UII) dengan nilai 41. Sementara Universitas Sumatra Utara dengan nilai 36, Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara dengan nilai 28 dan seterusnya.
Dinamika MKTI
Pada MTQMN ke-XVII bertajuk “Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani dalam Mencetak Talenta Emas Indonesia”, untuk MKTI mengambil tempat di Fakultas Peternakan UB. Terlihat peserta begitu bergairah dan antusias menyampaikan ide brilian dan futuristik tentang kandungan isi Al-Qur’an di arena lomba. Kemudian dikontekstualisasikan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menjawab tantangan konkrit yang dihadapi masyarakat dan bangsa Indonesia kini dan ke depan.
Sebelum dimulai lomba MKTI, Ketua Dewan Hakim Abdul Malik menyampaikan tata tertib lomba, serta kriteria penilaian lomba yang secara umum meliputi tiga aspek penilaian, yakni: pertama, pemaparan (presentasi) karya tulis. Kedua, gagasan, dan ketiga, diskusi. Penilaian juga dilakukan terhadap format makalah dan kesimpulan (prediksi hasil implementasi gagasan). Penilaian dilakukan secara kumulatif pada semua kriteria penilaian.
Total waktu yang disediakan bagi peserta untuk presentasi sebanyak 30 menit. Dari waktu sebanyak itu, 15 menit diberikan untuk presentasi oleh peserta. Sedangkan sisa 15 menit lainnya digunakan oleh dewan hakim untuk mengeksplorasi gagasan, kebaruan, perbedaan dengan penelitian sebelumnya, dan fisibilitas dari karya tulis ilmiah peserta. Limitnya waktu yang tersidia memaksa peserta dan Dewan Hakim dapat memanfaatkan waktu seefektif dan semaksimal mungkin.
Giliran tampil peserta dilakukan dengan cara memanggil satu peserta (kelompok sebanyak tiga orang) yang akan tampil. Sementara peserta kedua diperbolehkan masuk ke arena lomba. Sedangkan peserta ketiga dan seterusnya menunggu di luar arena. Positifnya, cara ini membuat kegiatan MKTI tertib dan lancar. Namun kekurangannya, membuat kegiatan lomba tidak meriah dan kurang gemuruh. Baru pada banyak final atau hari keempat (akhir), semua peserta dan pendukung diperbolehkan masuk ke arena—sepanjang tempat duduknya tersedia sehingga suasana lomba gayeng atau meriah, dan tetap tertib.
Dari sisi metode penulisan karya tulis pada MTKI 2023, mengutip pendapat Islah Gusmian, dalam bukunya bertajuk “Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi” (2013), sejumlah peserta MTKI mengikuti arus wacana tafsir kontemporer, yakni: pertama, menggunakan metode sains dalam menafsirkan Al-Qur’an yang beranjak dari temuan ilmiah kemudian dicarikan legitimasinya dalam Al-Qur’an. Kedua, memahami Al-Quran yang mendorong eksplorasi ilmiah.
Pendekatan lainnya, banyak peserta mengangkat isu-isu aktual yang tengah terjadi di masyarakat sebagai materi karya tulis, Seperti: narkoba, lesbian, guy, bisek dan transgender (LGBT), childfree, stunting, pinjaman online (Pinjol), korupsi, krisis energi, polusi udara, metaverse, dan lain-lain. Kemudian kasus tersebut dikaji, dianalisis dan diajukan solusinya dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan atau sumber inspirasi. Ada juga peserta menulis karya tulis secara tematik dengan merujuk dalil Al-Qur’an seperti tentang lebah madu (QS An-Nahl: 68-69) dan lalat, sebagaimana terdapat dalam Surah Al-Hajj Ayat 73. Selebihnya, sebagian besar peserta memanfatkan desain visual dan info grafis dalam presentasinya. Namun hanya sedikit yang menyertakan info grafis, pamflet, brosur atau fliyer, dan terutama hasil riset berupa produk konkrit atau protitipe hasil riset. Hal ini sekaligus mengindikasikan bahwa gagasan futuristik yang diklaim sebagian peserta varu sebatas konsep dan desain dan belum diturunkan pada tataran impelementatif dan konkrit berupa prototipe. Diantara alasannya karena untuk bisa memproduksi prototipe memerlukan riset panjang dan biaya tidak sedikit.

Persaingan kompetitif dan relatif berimbang dari peserta yang berkompetisi pada MTQMN XVII berkonsekwensi membuat tidak mudah bagi dewan hakim MKTI, untuk menentukan dan menetapkan pemenang lomba. Untuk itu, selain kualitas karya tulis dan presentasi, dewan hakim juga menggunakan instrument turnitin, suatu perangkat lunak untuk mengecek “kemiripan” suatu karya ilmiah dan untuk mempermudah pengecekan tindakan plagiarism dengan batas maksimal 30 persen.
Setelah melalui berbagai pembahasan dan pertimbangan, akhirnya dewan hakim memutuskan peserta dari Universitas Gadjah Mada menjadi Juara 1, Universitas Brawijaya menjadi Juara 2, dan Universitas Negeri Malang menjadi Juara 3. Sedangkan juara harapan 1 dari Universitas Negeri Semarang, harapan 2 dari Universitas Indonesia, dan harapan 3 dari Institut Pertanian Bogor.
Catatan Kritikal
Ditinjau dari sisi kualitas karya tulis dan presentasi peserta, cukup variatif dan secara umum mengalami perbaikan. Pun demikian dari sisi kepatuhan terhadap pedoman penulisan karya tulis ilmiah, cukup tinggi. Beberapa catatan kritikal atas proses MKTN ini diantaranya sebagai berikut: pertama, terkait dengan orsinalitas dan kebaruan (novelty) gagasan. Tentang hal ini banyak disorot oleh anggota dewan hakim Prof. Yusuf Hanafi. Ia mencermati, cukup banyak karya tulis peserta yang terindikasi mirip dengan karya tulis yang dilakukan oleh mahasiswa atau peneliti lainnya. Sehingga unsur kebaruan gagasan yang ditawarkan belum terlihat secara gamblang.
Kedua, pada metode penulisan karya tulis ilmiah, umumnya peserta memposisikan Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi. Sayangnya terdapat sekian peserta yang tidak atau kurang tepat dan akurat dalam menerapkan metode tersebut. Bisa jadi salah satu penyebabnya karena peserta kurang memiliki pengetahuan memadai untuk dapat melakukan penfasiran kandungan isi Al-Qur’an secara saintifik (tafsir bil ilmi). Selain juga cukup banyak ditemukan karya tulis yang bersifat futuristik namun ‘diragukan’ pada tingkat implementasi dan aplikasinya.

Ketiga, Ketua Dewan Hakim MKTI Dr. Abdul Malik mencermati, terdapat penggunaan istilah, diksi atau frasa dalam bahasa Arab atau bahkan pemaknaan terhadap idiom atau tamsil (metafora) dalam Al_Qur’an, tanpa memiliki pemahaman memadai tentang gramatikal-liguistik bahasa Arab. Padahal mestinya, pemahaman memadai yang merujuk kepada referensi kamus klasik atau modern yang ditulis oleh para pakar atau ulama yang otoritatif, mutlak harus dipenuhi oleh peserta. Karena tanpa memiliki pemahaman tersebut, menurut Abdul Malik yang juga dosen Universitas Gadjah Mada, sulit dapat memahami makna simantik atau bahkan hermenetika isi kandungan Al-Qur’an.
Keempat, Dewan Hakim lain Dr. Ahmad Kosasih menyoroti presentasi peserta yang umumnya menggunakan aplikasi berbasis digital. Menurutnya, hal tersebut bagus-bagus saja sepanjang hal tersebut memperkuat komprehensivitas dan bobot karya tulis. Masalahnya, presentasi berbasis aplikasi digital mengakibatkan peserta lebih terfokus pada aplikasi. Bukan pada substansi dan narasi yang Terdapat pada karya tulis ilmiah yang sebelumnya diberikan kepada Panitia dan dewan hakim.
Kelima, Dewan hakim Dr. Nury Firdausia, M.Pd.I berpendapat, kecakapan menulis karya ilmiah harus didukung dengan kemampuan menyampaikan ide dan gagasannya melalui solusi yang konkrit, praktis dan implementatif. Ia menambahkan, kritik dan saran harus dibedakan retorika presentasi berbeda dengan tetorika Syarhil Qur’an. Ke depannya, ia mengusulkan agar pembacaan ayat Al-Qur’an seharusnya dilatih dan ditashih agar bacaannya sesuai dengan kaidah Tajwid dan Fashohah.
Keenam, MKTI berbeda lomba tafsir, syarhil atau fahmil Qur’an. Sebab di dalamnya mengharuskan peserta untuk menyusun karya tulis berbasis riset dengan cakupan rumpun keilmuwan yang demikian variatif dan luas, baik eksakta maupun humaniora serta banyak pula yang mengusung tema aktual serta mendorong etos kewirausahaan. Hal ini mengharuskan pemahaman dan wawasan Dewan Hakim terhadap berbagai aspek tersebut. Bahkan hingga pada tataran yang lebih aplikatif dan teknis. Jadi, Dewan Hakim tidak cukup mempertimbangkan gagasan futuristik dari peserta lomba, melainkan juga harus mempertimbangkan tingkat kelayakan, fisibilitas dan implementasinya. Terlebih bila karya tulis tersebut mendorong untuk melakukan wirasaha atau bisnis.
What Next?
MTQN ke XVII telah berakhir dengan sukses dan meriah. Semua kafilah telah menorehkan prestasi, baik prestasi secara individual maupun secara kolektif (institusi atau universitas). Bisa dikatakan prestasi tersebut tidak diperoleh secara instan, atau tiba-tiba. Melainkan setelah melalui proses pembinaan, bimbingan dan pelatihan yang cukup panjang dan berbulan-bulan. Bahkan sejumlah perguruan tinggi mempersiapkan dirinya beberapa tahun sebelumnya. Sehingga wajar memperoleh prestasi terbaik pada lomba kali ini. Sedangkan yang belum beroleh prestasi, meminjam pameo “kegagalan adalah kesuksesan tertunda”.
Sejumlah peserta yang dimintai komentar atau opini atas partisipasinya pada kegiatan MKTI pada umumnya memberikan apresiasi tinggi. Khofifah Azhary dari Universitas Internasional Semen Indonesia, misalnya menilai, kegiatan ini sangat bermanfaat sebagai ajang mengembangkan gagasan kreatif tentang isi kandungan Al-Qur’an. Sementara Fahriza Rianda dari Institut Teknologi PLN berharap, ke depannya akan lebih mempersiapkan diri lebih baik. Sedangkan Khuriyatul Lailiyah dari Universitas Tidar menyatakan, akan lebih giat lagi meningkatkan wawasannya khususnya di bidang kandungan Al-Qur’an dengan melibatkan sejawatnya dari kalangan mahasiswa maupun dari dosen pembimbing.
Lalu apa langkah selanjutnya? Staf Ahli Kemendikbudristek Bidang Manajemen Talenta, Tatang Muttaqin saat menutup kegiatan MTQN ke-XVII di Gedung Samantha Krida, UB, pada Kamis (9/11), mengatakan MTQMN merupakan salah satu upaya untuk merawat tradisi yang baik sehingga bisa benar-benar mencapai target talenta nasional. Sedangkan Dr. Akh Jazuli, Asisten Administrasi Umum Sekda Provinsi Jawa Timur, di acara pembukaan mengungkapkan harapan akan keberlangsungan kompetisi ini sebagai bentuk menjunjung sportifitas dan menjaga kemurnian Al-Quran.

Lebih spesifik lagi, apa yang dikatakan Rektor UB, Prof Widodo. Menurutnya, kita harus terus melakukan pembinaan dan pendampingan secara intensif, agar mereka bisa berprestasi di berbagai bidang. Ini artinya, para kafilah tidak boleh berhenti pada hasil MTQN. Melainkan harus dikembangkan dan dilanjutkan dengan perolehan prestasi di tingkat selanjutnya. Misalnya tingkat provinsi, nasional dan internasional.
Peran pentahelix dan kolaboratif, khususnya kampus, pemerintah dan dunia usaha guna mengembangkan gagasan futuristik peserta, sangat penting. Karena tanpa dukungan tersebut, seperti yang banyak dialami dalam penelitian di kampus atau lembaga riset, maka hasil penelitian yang demikian substansial, futuristik dan menelan biaya tidak sedikit, hanya berhenti menjadi asesori yang dipajang di rak-rak perpustakaan, atau menjadi dokumen dan arsip belaka.
Secara konkrit pimpinan UB, mengundang para mahasiswa yang berprestasi di MTQMN ke-XVII untuk studi lanjutan pada program S2 dan S3. Syukur-syukur hal tersebut diberikan melalui bantuan bea siswa penuh, atau setidak-tidaknya mendapat potongan biaya kuliah secara signifikan. Sebab bisa jadi para talenta emas yang berprestasi di MTQMN XVII tidak semua berasal kalangan the haves. Langkah serupa sebenarnya bisa ditempuh oleh universitas lainnya di Indonesia. Termasuk dan terutama birokrasi pemerintahan, dunia usaha, atau lembaga penyedia dana bea siswa, dan sebagainya. Dengan makin tinggi strata pendidikan talenta emas tersebut memungkinkannya untuk meningkatkan kreativitas dan inovasi.
Bahkan, jika memungkinkan para milenial dan talenta emas yang berprestasi di lomba/musabaqah tahun ini dan telah lulus kuliah beroleh perioritas diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), karyawan BUMN atau swasta bonafid sehingga memungkinkan bagi mereka untuk mengembangkan dan memaksimalisasikan gagasan dan hasilnya risetnya secara lebih konkrit dan empirik. Dengan cara demikian, talenta-talenta emas yang bercirikan kualitas individu yang memiliki integrasi ilmu, takwa/iman dan amal dapat lebih memberi kontribusi positif, nyata dan maksimal guna mewujudkan Indonesia emas pada 2045.
Wallahu ‘alam bissawab.