“Kami lebih frustrasi dengan Kementerian Kesehatan karena kami yang harus mendorong mereka untuk menerapkan kebijakan seperti membatasi pergerakan penduduk di kota,” ujar Anies seperti dikutip dari CNN Indonesia, Senin (11/5/2020).
Kemudian Anies melanjutkan, “Kami memutuskan lebih baik berterus terang kepada masyarakat mengenai apa yang terjadi dan tindakan yang kami perbuat supaya mereka merasa aman.”
Anies juga menerangkan, informasi yang disampaikan kepada publik juga diupayakan tidak simpang siur dan selalu mengacu kepada ahli seperti epidemiolog. Kepercayaan publik menjadi taruhan.
Justru sebaliknya kalau kita mengingat di awal pandemi, elite pusat malah menganggap enteng Covid-19 dan jadi bahan guyonan.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sempat mengucapkan Corona tak bisa masuk ke Indonesia karena perizinan di Indonesia berbelit-belit, Menhub Budi Karya Sumadi menyebut orang Indonesia kebal karena suka makan nasi kucing, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut Corona tak bisa masuk karena cuaca Indonesia panas dan Gubernur Nusa Tenggara Barat menyebut Corona bisa dikalahkan dengan susu kuda liar.
Namun, Anies yang saat itu menjadi anggota komunitas 40 kota di dunia tidak bisa bercanda seperti para elite pemerintah lainnya. Informasi dari semua walikota di dunia masuk ke Jakarta dan Anies merasa ada yang aneh dengan Indonesia.
Menurut Anies rumah sakit selalu menolak pasien dengan alasan negatif Corona. Sementara data Dinas Pemakaman DKI Jakarta menginformasikan jumlah orang meninggal melonjak. Ini tidak wajar.
“Ini pasti ada sesuatu yang salah,” kata Anies.
Anies kemudian memanggil sejumlah stakeholder pemerintah seperti Imigrasi dan Badan Intelijen Negara.
Saat itulah diputuskan, DKI Jakarta harus segera bertindak dan mengambil keputusan. Harus terbuka tetapi masyarakat juga harus percaya.
Bisa dibayangkan tingkat frustrasi Anies dan jajaran Pemprov DKI saat itu. Tapi rasa itu hilang bila melihat kebijakan Anies itu kemudian diadopsi Pemerintah Pusat dan sukses secara nasional.
Kehadiran Anies di Australia adalah jawaban. Saatnya Australia tak melihat sosok Anies dari asumsi islamis dan antitoleransi tetapi mestinya dudukan Anies dari kinerja lima tahunnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Semu tuduhan itu tidak terbukti. Janganlah Australia menjadi bagian dari “Buzzer Internasional”.
Ancaman sebenarnya itu bukan kalangan islamis yang selama ini dikhawatirkan Australia. Justru merosotnya indeks demokrasi Indonesia dan memanasnya Laut China Selatan, lawan yang paling nyata.