Scroll untuk baca artikel
Blog

Mutiara di Tengah Kubangan Lumpur

Redaksi
×

Mutiara di Tengah Kubangan Lumpur

Sebarkan artikel ini

Oleh: Agung Wibowo

SUARA azan berkumandang dari corong masjid memanggil jamaah untuk melakukan salat Isya. Bersamaan itu suara alunan musik dangdut yang tidak terlalu keras terdengar tak jauh dari masjid.

Keadaan ini adalah hal yang biasa terjadi di sebuah perkampungan lokalisasi tempat Pak Ahmad menetap sebagai imam masjid di daerah itu.

Sejak awal pembangunan masjid yang dulunya merupakan surau kecil, Pak Ahmad selalu mendapat teror dari orang yang memang kehidupannya bergantung dari lokalisasi.

Dari hardikan sampai ditemukannya kotoran manusia di depan surau, Pak Ahmad tetap melanjutkan pembangunan masjid dengan hati lapang. Mengingat bahwa mengemban dakwah adalah merupakan tanggung jawab seorang mukmin meskipun sulit dan penuh tantangan.

Bersama dukungan para jama’ah, ia tak pernah merasa berat mengemban amanah. Dan beranggapan bahwa tantangan kesulitan yang dihadapi, tak sebanding nikmat yang diberikan Alloh kepadanya.

“Seandainya saja orang yang meneror tahu dan sadar, pastilah mereka tidak akan mau melakukan hal itu,” ujar Pak Ahmad kepada Jalil, pemuda tekun yang selalu membantu mengurus surau.

Dan Jalil pun selalu setia mendengarkan tiap kata-kata Pak Ahmad, karena membuat dirinya bersemangat untuk terus bersama menegakkan kebenaran.

* * *

Surau kampung lokalisaai sebelum menjadi sebuah masjid, adalah sebuah tempat ibadah sederhana yang jauh dari kata layak.

Dengan berdinding dan berlantai papan, serta beratap genting yang kadang bocor jika musim hujan tiba, Pak Ahmad bersama jama’ahnya yang berjumlah lima orang tetap menjalankan ibadah.

Pak Ahmad sebenarnya berprofesi sebagai tukung pijat urut yang sering membantu warga dengan keahliannya. Tak jarang beliau sering menangani sebuah cidera patah tulang disebabkan karena kecelakaan maupun perkelahian dari keributan di sebuah karaoke.

Beliau membantu warga tanpa menyebutkan besarnya upah. Sehingga banyak di antara mereka menaruh simpati dan hormat. Meskipun tidak sedikit yang tak mau bertegur sapa lantaran merasa berseberangan.

Dengan rasa solidaritas kepada warga, membuat keadaan surau lambat laun ramai oleh jama’ah. Sehingga sedikit demi sedikit bisa melakukan renovasi pembangunan.

* * *

Azan Subuh berkumandang dari surau yang masih dalam keadaan renovasi itu. Sebagian warga sudah berdatangan untuk melakukan salat. Namun tidak demikian bagi Pak Wiro pemilik karaoke yang baru tutup untuk beristirahat.

“Kurang ajar itu surau! Kenapa sekarang pakai corong yang keras untuk azan! Membuat bising dan mengganggu orang tidur saja. Awas kalian!” ujar Pak Wiro terganggu dari tidurnya yang baru sebentar.

Dengan langkah kaki marah, Pak Wiro keluar rumah menuju surau.

“Hei, Ahmad! Keluar kau dari surau! Mengganggu orang tidur saja dengan suara corongmu itu! Keluar kau!” Teriak Pak Wiro sambil berkacak pinggang di depan surau.

Orang-orang yang masih berada di surau seketika keluar dengan geramnya menghampiri Pak Wiro. Terutama Pak Sastro, seorang begal yang bertaubat.

“Apa Wiro! Beraninya teriak-teriak di depan tempat ibadah! Apa kamu mau mengganggu orang yang akan salat?!” bentak Pak Sastro sengit.

“Assalamualaikum, Pak Wiro. Ada apakah sehingga Bapak marah-marah pada kami yang akan menunaikan ibadah? Jika Bapak berkenan ikut jama’ah, kami persilakan,” kata Pak Ahmad menengahi dengan sopan.

” Dasar sok alim kamu, Ahmad! Aku ke sini bukan mau salat! Salat kok disuruh-suruh kayak anak kecil saja! Aku ini terganggu oleh suara corong suraumu itu! Apa kamu tidak tahu kalau orang capek kerja ngurus karaoke, heeeh …?! Dulu enak sebelum ada corong, malah sekarang dipasang membuat bising saja!” ujar Pak Wiro marah.