MAHMUD terlihat kaget ketika Supar membisikkan sesuatu di telinganya. Matanya terlihat terbelalak. Sementara itu mulutnya yang ndower itu terlihat melongo persis tokoh Togog di dalam lakon pewayangan. Pengen rasanya ngiris bibirnya yang super ndower itu.
“Yang benar saja Kang? Paling-paling itu fitnah!” ucap Mahmud seakan tak percaya oleh berita yang barusan didengarnya.
“Informasinya A1,” balas Supar sambil menepuk pundak Mahmud seolah-olah seperti hendak menyadarkannya.
“Hayo! Kowe iki mesthi lagi ngrasani Cak Kun tho?” Suara Muntadi tiba-tiba terdengar mengagetkan Mahmud dan Supar yang tengah asyik mojok di warung Mak Yah malam itu.
“Mboten kok Den!” jawab Supar tergagap-gagap. Lelaki penarik becak itu lalu segera mensruput kopinya seperti tak ingin meladeni omongan Muntadi.
“Ternyata selama ini Kita semua telah ditipu oleh Cak Kun. Tak kira Cak Kun adalah seorang wali, eh tibane wong gendheng alias bento!,” ujar Muntadi sambil memesan secangkir Jahe Susu kegemarannya. Nada bicaranya terdengar penuh emosi. Bagi Supar atau Mahmud sikap Muntadi yang seperti itu sudah dianggap angin lalu saja.
“Jangan-jangan Cak Kun antek keluarga Perdana yang tak rela kalau desa kita ini maju,” seloroh Muntadi kembali sambil tangannya mengaduk-aduk Jahe Susu pesanannya tersebut.
“Kalau itu fitnah namanya Mas! Kok kayaknya mustahil gitu!” sanggah Kadir yang sedari tadi hanya terdiam membisu asyik menikmati tayangan sinetron Tuyul dan Mbak Yul yang tengah diputar ulang di salah satu stasiun TV swasta tersebut.
“Dulu di jaman ontran-ontran, Cak Kun adalah salah satu orang yang berani meminta Eyang Perdana untuk turun dari jabantannya sebagai Kades. Mungkin saat itu Mas Muntadi masih umbelen. Jadi tak pantas kalau Mas Muntadi memfitnah Cak Kun seperti itu,” sambung Kadir lagi tanpa sedikitpun melepaskan pandangan matanya dari layar tv.
“Aku dengar rumah Cak Kun kemarin juga dilempari batu. Gentengnya pada pecah,” seloroh Mak Yah dari dapurnya seperti tak ingin ketinggalan gosip terkini.
“Benar mak. Bukan hanya dilempari batu tetapi juga dilempari telur busuk,” jawab Muntadi cepat. Lelaki itu sepertinya tahu persis kejadian yang sebenarnya.
“Ya wajar saja kalau warga marah. Masak Pak Kades dibilang Gendruwo. Apalagi ngomongnya di tengah pasar yang ramai,” sambung Muntadi sekali lagi berapi-api.
“Ngomong-ngomong apa benar kalau Cak Kun barusan bertapa di Sendang Legok yang wingit itu?
“Kabarnya sih begitu. Mungkin saja Cak Kun ketempelan danyang yang mbaurekso di Sendang tersebut,” jawab Sukir yang entah dari mana tiba-tiba saja sudah ikut ndopok di warung Mak Yah. Lelaki penjual Cilok keliling itu seringkali justeru lengkap informasinya. Mungkin karena suka keliling kampung jadi otomatis banyak mendengar aneka perspektif.
“Kalau menurutku itu hanyalah teknik marketing Cak Kun saja supaya orang percaya kalau dia adalah wali. Dan yang jelas untuk menambah ini,” jawab Muntadi sambil menyentuhkan ibu jari dan telunjuknya sembari digerak-gerakkan. Mendengar jawaban Muntadi tak ayal lagi semua pengunjung warung Mak Yah tertawa terbahak-bahak. Lelaki jebolan universitas ternama itu memang terkenal pintar mengolah kata-kata. Dan saking pintarnya beberapa orang justeru menjuluki Muntadi dengan julukan pinter tur keblinger.
“Apapun alasannya Aku tidak akan terima kalau Pak kades kita yang visioner ini disamakan dengan Gendruwo. Memangnya Cak Kun selama ini bisa berbuat apa untuk kemajuan desa kita ini,” tukas Muntadi sambill menyerahkan beberapa lembar uang untuk membayar Jahe Susu dan Limpang-limpun serta Onde-onde yang sudah diembatnya. Lelaki itupun lalu ngeloyor pergi ke arah stasiun. Mungkin ke rumah Ali Kabal teman akrabnya. Sepeninggal Muntadi, di warung Mak Yah Mahmud, Sukir, Kadir dan Supar melanjutkan acara ndopoknya.