Jokowi dianggap masih berutang janji atas persoalan banjir Jakarta yang belum kunjung beres.
BARISAN.CO – Sejak disahkannya RUU Ibu Kota Negara (IKN) oleh DPR RI dan Pemerintah sejak 18 Januari 2022, secara resmi Indonesia akan memiliki Ibu Kota Negara baru pengganti Jakarta.
Ditargetkan, pembangunan IKN di Kalimantan Timur akan rampung pada 2045, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-100.
Salah satu urgensi dari pemindahan ibu kota ini karena Jakarta dianggap tidak lagi kondusif. Hal ini termasuk permasalahan banjir yang melanda setiap tahun dan terjadinya penurunan tanah yang mengakibatkan sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut.
Dalam Mimbar Virtual “Penurunan Muka Tanah di Jakarta, Pindah Ibu Kota Bisakah Jadi Solusi?”, Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun mengatakan, pemindahan ibu kota itu sebagai tanda betapa gagapnya pemerintah mengatasi masalah di Jakarta.
Dia ingat bagaimana Presiden Joko Widodo saat masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dalam janji politiknya saat maju Pipres 2014 menyampaikan, masalah banjir dan persolan ibu kota lebih mudah diatasi jika jadi Presiden.
“Dengan itikad baik, saya memilih Jokowi sebagai Presiden pada Pilpres 2014 karena menilai janji politik akan memulihkan sungai Ciliwung dan ada solusi dalam menyelamatkan lingkungan hidup di Jakarta. Namun, yang terlihat saat ini justru bertolak belakang,” kata Asun pada Rabu (25/1/2023).
Dalam kesempatan itu, Asun menyampaikan, variabel yang selama ini diabaikan adalah soal laju sedimentasi sungai. Menurutnya, daratan Jakarta sendiri terbentuk dari sedimentasi sungai yang disebut dengan tanah aluvial atau Kota Delta.
“Artinya, permasalahan sedimentasi sungai ini karena adanya permasalahan di pemanfaatan ruang lindung hulu yang beralih fungsi dari kebun sayur, dan lainnya. Tentunya, laju sedimentasi sungai sekarang lebih masif dari zaman sebelum perambahan di kawasan hulu,” kata Asun.
Menurut Asun, hal ini tidak diungkapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenpUPR) melalui program normalisasi sungai dengan mengalirkan, mengeruk, dan melebarkan sungai, sehingga bisa meningkatkan kapasitas air menjadi 570 meter per detik ke laut.
“Variabel sedimentasi ini tidak pernah diutarakan dari persoalan sedimentasi dari kawasan hulu sampai akumulasi sedimentasi yang diperparah oleh betonisasi sungai. Jadi, sekali banjir di sempadan sungai itu lumpurnya bertambah itu hampir 20 cm,” lanjutnya.
Inilah yang membuat Asun mengkritisi langkah pemerintah yang memilih normalisasi ketimbang naturalisasi.
“Hal ini berhubungan fungsi sempadan sungai itu sebagai daerah kawasan lindung untuk ekologi varian sungai. Sempadan sungai menangkap sedimen lumpur sungai dan itu dihilangkan oleh program normalisasi sungai yang membeton atau buat tembok beton di sempadan sungai,” tambahnya.
Dari riset Ciliwung Institute bersama Singapore University tahun 2015, Asun mengungkapkan, rata-rata tingkat sedimentasi sungai di Jakarta itu mencapai 10 cm per bulan, artinya dalam dalam satu tahun itu 1,2 meter di palung sungai.
Dia menerangkan, akumulasi dari sedimentasi di muara sungai tersebut akan membentuk daratan baru.
“Masyarakat sungai atau masyarakat pesisir secara tradisional sendiri punya teknologi menangkap sedimentasi untuk menambah daratan baru. Misalnya, di Cisadane, para penambak bandeng itu bisa bikin bangunan bambu yang menangkap sedimen dan memperluas wilayah tambak mereka, sehingga kita bisa lihat hampir semua sungai akan membuat tanjungan muara sungai daratan yang menonjol, yang kami sebut tanah timbul,” lanjutnya.
Ada pun pengambilan sampel dalam riset tersebut dilakukan dua bulan sekali selama dua tahun berturut-turut, baik ketika debit sungai minimum maupun di titik maksimal. Pengukurannya dilakukan di empat titik, antara lain: di selatan, Condet dan Pasar Minggu; serta wilayah hilir, Ciliwung Lama Matraman Berlan, dan Kanal Banjir Barat Menteng Tenggulun.
“Periset dan akademisi harus jujur bahwa ada satu hal yang harus kita sikapi, yakni sedimentasi masalah pendangkalan sungai. Di sisi lain, sedimentasi sungai ini juga menjadi peluang ketika kita bisa mengatur arah tanah timbul melaju, penambahan tanah baru ini terjadi alamiah kota delta, pertumbuhan tanah aluvuial,” tegasnya.
Asun menambahkan, berdasarkan prediksi Ciliwung Institute, pulau-pulau reklamasi yang terlalu dekat dengan garis pantai akan mengganggu aktivitas pencucian sedimentasi muara sungai.
“Pada akhirnya nanti, Pulau D yang memang run-off sebagian besar wilayah Jakarta Barat muara dari Kali Pesanggrahan, Kali Angke, Kali Grogol dan Kali Mookervart, penumpukan sedimen itu akan menciptakan tanah timbul hingga pulau reklamasi lama kelamaan akan menempel dengan daratan utama,” sambung Asun.
Dengan berbagai pertimbangan, dia berpendapat, pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur, yang dilakukan Jokowi menyisakan utang statement.
“Saya pikir Pak Jokowi masih punya utang statement, kalau sudah tidak mampu mengurus persoalan banjir Jakarta, tolong Pak Jokowi lempar handuk. Silakan Anda pindah ibu kota, kami sangat berterima kasih,” ucapnya.
Selain itu, Asun menyerukan, ada atau tidak adanya pemindahan ibu kota, Jakarta dan Ciliwung wajib untuk diselematkan dari krisis. [dmr]