MALAM Minggu ini adalah puncak acara memperingati hari jadi kota Semarang. Suasana Bendungan Banjir Kanal sangat ramai dengan pengunjung yang datang menyaksikan pesta lampion dan kembang api.
Tak ketinggalan pula Wati bersama Timbul pacarnya yang seorang Satpam perumahan ikut menyaksikan jalannya keramaian.
“Dek Wati sayang, bagus kembang apinya dilihat dari sini, ya? Bercahaya warna-warni secantik wajahmu,” kata Timbul merayu.
“Ah … masak, sih? Mas Timbul terlalu memuji aku yang jelek begini,” Wati tersipu malu menutup bibir tonggosnya.
“Lho … betul ini! Aku melihat wajahmu semakin menjadi bagaimanaaa … gitu deh. Ingin rasanya … ehmmm,” Timbul melirik nakal kepada Wati dengan senyam senyum.
“Mas Timbul nakal aah …, Mas kalau merayu Wati begini pasti ada maunya,” kata Wati manja.
“Hehehe … iya, Wati sayang. Emm … sebenarnya mas mau ngomong dikiiiiit … boleh, ya? Emm … dek Wati, mas bisa pinjam uangmu lagi ndak? Plisss deh,” kata Timbul memelas memonyongkan bibir.
“Lho, kemarin juga sudah Wati pinjami duit? Lagi pula seminggu yang lalu utang Mas Timbul belum juga dibayar, sekarang pinjam lagi. Bagaimana tho?” tanya Wati sambil mengerutkan alisnya.
“Anu, Wati. Mas ada keperluan mendadak emakku sakit. Aku harus kirim uang untuk biaya berobat,” Timbul pun meyakinkan.
“Ya sudah …, nanti Wati pinjami lagi, ya? Asalkan untuk berobat emak Mas yang sakit. Supaya segera sembuh. Sebenarnya uang Wati juga sudah menipis karena belum diberi gaji oleh juragan mami untuk bulan ini,” kata Wati yang seorang pembantu rumah tangga.
“Hehehe … terima kasih Wati sayang. Mas Timbul janji, deh, ntar mas kembalikan setelah gajian,” kata Timbul kembali senyam-senyum girang.
Acara perhelatan kota Semarang pada malam Minggu itu sungguh ramai sekali. Penonton memadati areal bendungan dan sekitarnya. Dengan pagelaran grup orkes dangdut yang menyajikan musiknya, hingar bingarlah acara pada malam itu.
Bersama kerumunan orang yang berdesakan menikmati acara yang disajikan, munculah seorang wanita berparas gemuk dan dua wanita lain menghampiri kedua pasangan itu.
“Mas Timbul! Kamu ke mana saja selama ini? Surti mencari ke sana kemari tiga bulan ndak ketemu,” hardik seorang wanita yang mengaku bernama Surti. “aku kangen, Mas. Mengapa kamu meninggalkan aku tanpa memberi kabar? Dan kata Paijo temanmu itu, Mas Timbul sudah keluar dari tempat kerja, ya?”
“B-b-betul, Surti. Eh … emm …,” kata Timbul kaget celingak-celinguk gelagapan menjawab pertanyaan itu.
“Lho, kamu Surti teman desaku, ya? Kok bisa sampai di sini?” kata Wati kepada Surti dengan terkejut.
“Eh … Wati, kamu kok juga ada di sini? Dan kenapa bersama Mas Timbul pacarku?” tanya Surti keheranan.
“Lho, Mas Timbul itu pacarku, Surti! Bukan pacarmu?” kata Wati sewot.
“Ndak! Mas Timbul pacarku! Dia sudah lama menghilang dan baru ketemu saat ini!” kata Surti semakin terkejut.
“Ndak!” bantah Wati.
“Ndak! Dia milikku! bantah Surti.
Akhirnya kedua wanita itu saling bertengkar memperebutkan Timbul yang terbengong bingung.
Dengan satu tangan yang mencengkeram pundak, dan satu lagi menjambak rambut, Surti saling bergumul di aspal jalan bersama Wati disaksikan sekeliling orang yang berada di areal parkir itu.
Tak ayal pertengkaran itu menjadi tontonan orang-orang sekitar dan semakin menambah gaduh suasana acara.
Timbul tak kuasa menghentikan keduanya. Dengan bingung memihak yang mana, Timbul kemudian hanya berdiri memandang kedua perempuan itu berkelahi saling bergulingan. Dan dua teman Surti yang datang bersamanya pun melerai mereka dibantu orang yang sebagian menonton pergumulan itu.