DI MASA orde lama rakyat mendengar teriakan: politik sebagai panglima. Terdengar pula jargon-jargon politik dalam sastra: realisme sosialis, humanisme universal.
Pertarungan makin meruncing dalam underbow-underbow partai politik. Mereka Lesbumi, LKN, Lekra.
Tercium aroma politik, kepanglimaan politik. Dan atau: satu sektor kehidupan, politik, yang sesungguhnya tidak boleh dipanglimakan.
Setiap sektor memberikan peran masing-masing dalam kehidupan.
Saat kepanglimaan sundul langit, tikamannya peristiwa berdarah 1965. Rakyat menjadi korban. Masyarakat membaui anyir darah selama seratus tahun lebih.
Hingga orde baru berakhir, dan berkuasa era reformasi. Teriakan khas orde lama kembali terdengar. Ini kali memekakkan telinga dan fals: hukum sebagai panglima.
Langit pun mencatat, rakyat kembali membaui aroma kekuasaan. Tak lain, berlangsungnya perang antar ayat-ayat hukum bikinan Belanda.
Puncak letusannya terdengar dalam peristiwa pembunuhan berencana dan berkelompok di rumah hamba hukum.
Seorang Jendral polisi perintahkan tembak ajudan setianya, dengan skenario pelecehan sexual terhadap isteri baya usia. Rakyat mengendus aroma kejahatan mafia di tubuh polisi: perjudian, perempuan dan narkoba.
Perang hukum makin sengit. Masyarakat bagaikan nonton film drama tidak bermutu. “Nggak asyik,” cetus Kang obat dalam satu pertemuan RT, “panglimanya klas preman!”***