Scroll untuk baca artikel
Terkini

Pembajakan Buku Marak Karena Kita Masih Permisif

Redaksi
×

Pembajakan Buku Marak Karena Kita Masih Permisif

Sebarkan artikel ini

Sebagai penulis cerita fiksi, peminat dari bukunya mayoritas adalah remaja. Harga bukunya di pasaran berkisar antara 60 ribu sampai 90 ribu rupiah. Remaja yang mayoritas berstatus pelajar dan mahasiswa tentu kesulitan membeli buku dengan harga yang lumayan tinggi itu.

Tetapi, hal ini tidak dapat dijadikan alasan pembajakan dapat dilakukan. Kartika menjelaskan, bukan hanya remaja yang ingin membeli buku dengan harga murah. Dari penulis dan penerbit sendiri ingin menjual buku dengan harga yang terjangkau. Tetapi perlu diingat ada royalti yang harus dibayarkan serta biaya produksi dan marketing sehingga buku dapat diterima oleh konsumen, hal ini berimbas dengan tumbuhnya buku ilegal dengan harga yang murah.

“Kenapa buku bajakan harganya murah? Karena tidak perlu membayar royalti, tidak perlu membayar pajak, tidak perlu membayar hasil kerja keras editor, penerbit, dan semua pihak yang berkontribusi hingga lahirlah sebuah buku,” kata Kartika.

“Bukan hanya buku fiksi saja, tetapi juga buku-buku lain memiliki proses yang sama. Apakah kita harus membeli buku resmi yang tidak terjangkau kantong kita? Jelas tidak. Lebih baik tidak membeli buku sama sekali dan meminjam buku melalui perpustakaan,” sambungnya.

Koridor Hukum Kurang Tegas?

Ada akibat hukum terkait pembajakan buku. Dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dijelaskan bahwa pemegang hak cipta memiliki hak ekonomi untuk melakukan penerbitan ciptaan, penggandaan ciptaan, penerjamah ciptaan, dan pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian ciptaan.

Pasal itu menyebut setiap orang yang tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta dilarang untuk melakukan penggandaan atau penggunaan secara komersil ciptaan. Sanksi pelaku pembajakan dimuat di pasal 113, dengan ancaman pidana satu hingga empat tahun dan/atau membayar denda sebesar satu hingga empat miliar rupiah.

Sayangnya, untuk mewujudkan efektivitas UU Hak Cipta diperlukan kesadaran masyarakat bahwa pembajakan buku tidaklah dapat ditolerir. Beredar pandangan di masyarakat bahwa pembajakan bukan kejahatan yang besar—bahkan pelakunya dianggap bukan kriminal.

Di sisi lain, andil pemerintah dalam memberantas kasus pembajakan buku yang tidak ada hentinya ini dirasa belum efektif. Pemerintah memang melakukan tindakan terhadap pembajakan buku, tetapi hal ini dipandang sebagai formalitas saja.

Masih banyak marketplace yang menjual buku bajakan. Mereka tak tersentuh dan bebas melakukan kejahatannya. Diperlukan solusi yang tepat untuk mengatasi hal ini.

Ada baiknya pemerintah tak tinggal diam. Pembajakan tak akan musnah dengan sendirinya di Indonesia. Perlu diterapkan strategi yang tepat dalam memerangi kasus pembajakan buku.