Itu pesan kecil saya pada para orang tua, guru atau pegiat pendidikan.
ANAK bisa tiap hari belajar. Di rumah atau di sekolah. Bisa juga tiap hari membaca buku atau mengerjakan tugas. Anak belajar tapi belum tentu pembelajar. Mereka belajar bisa karena berbagai hal: rutinitas, takut dimarahi (orang tua-guru) atau mengerjakan ‘kewajiban’ tugas.
Pembelajar itu belajar karena ada dorongan dari ‘dalam’. Ada hasrat anak ingin tahu. Ada motivasi untuk mengenal hal baru atau memecahkan sesuatu yang masih misteri. Ada inisiatif untuk ‘mencari’, bukan ‘bergantung’ dari.
Jika mental pembelajar tertanam pada diri anak. Dia akan mencari cara untuk mendapatkan jawaban suatu masalah. Jalan itu didapatkan melalui banyak pintu: bertanya, diskusi, membaca buku, mengakses internet dll.
Pada pembelajar, belajar menjadi kebutuhan. Kegiatan belajar menjadi wahana yang menyenangkan sekaligus menantang.
Ketika hari ini mutu literasi siswa kita rendah, yang menurut survei internasional tergolong salah satu terendah di dunia. Problem utamanya bukan soal ketersediaan buku. Bukan pula perihal akses kepada informasi atau ilmu pengetahuan seperti perpustakaan atau internet. Problem terbesar dari literasi siswa kita selama ini adalah tidak terbangunnya mental pembelajar.
Tanpa mental pembelajar, buku tak menarik. Perpustakaan bukan tempat menggiurkan atau internet tidak menjadi ruang mengasikan untuk berselancar dilautan pengetahuan yang luas.
Tanpa spirit pembelajar sekolah hanya menjadi rutinitas yang membosankan. Tugas sekolah menjadi beban dan ujian menjadi momok mencemaskan. Sekolah bukan menjadi ‘taman siswa’ yang membuat betah berlama-lama dan rindu kembali. Sebaliknya sekolah seperti ‘penjara’ yang setiap siswa menanti lonceng ‘pembebasan’.
Untuk waktu yang lama kita mendapati ada banyak sekolah tapi sedikit sekali pembelajar. Sekolah kurang mampu menghadirkan dan tidak mampu menghasilkan para pembelajar. Dari situasi ini bisa dipahami mengapa literasi kita buruk. Hal ini karena pembelajar sebagai motor penggerak utama belajar siswa tidak berfungsi dengan baik.
Tentu tak mudah membangun mental pembelajar. Ini bukan pekerjaan yang bisa dilakukan secara instan. Pembelajar adalah sebuah karakter yang untuk ‘membentuknya’ butuh proses panjang. Perlu waktu, kesabaran, kreatifitas, pembiasaan-pembiasaan dan juga ketrampilan.
Salah satu ketrampilan itu adalah pedagogi. Penguasaan pedagogi bukan semata aspek pengetahuan, melainkan pedagogi sebagai ketrampilan. Kita punya banyak guru yang menguasai bidangnya, tapi sedikit sekali yang menguasai pedagogi sebagai ketrampilan. Ini terbukti dari ketidakberhasilan membangun karakter pembelajar yang indikatornya terlihat dari rendahnya mutu literasi. [rif]