BARISAN.CO – Ekonom senior Didik J Rachbini mengatakan salah satu isu politik yang tidak berhenti diperbincangkan publik sampai hari ini adalah soal pemecatan 56 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Hal itu menjadi amat penting dibahas karena pangkal persoalan dari kemelut KPK adalah keputusan politik yang telah diambil negara untuk mengamandemen UU KPK yang lama. Amandemen UU KPK tersebut ditengarai lahir dari lobby-lobby politik tingkat tinggi DPR dan eksekutif (Presiden),” sambungnya dalam diskusi Forum Ekonomi Politik dengan tema Evaluasi Kelembagaan dan Kinerja KPK, Minggu (19/9/2021).
Jadi yang dapat disimpulkan menurut Didik adalah, jika presiden selaku kepala negara tidak memberikan persetujuan atas usulan pelemahan KPK. Maka sejak dulu upaya amandemen KPK tidak akan pernah berhasil.
“Amandemen UU KPK yang saat ini berhasil dilakukan adalah karena presiden setuju. DPR dan presiden melakukan kerja sama melakukan amandemen menempatkan KPK di bawah kekuasaan,” ujar Didik.
Sementara itu, peneliti Pusat Studi Hukum dan HAM LP3Es Malik Ruslan mengatakan setelah agenda amandemen UU KPK berhasil dilakukan, dan sekarang proses pemecatan 56 pegawai kritis KPK juga telah sukses dilaksanakan. Maka KPK saat ini memang tengah menghadapi persoalan paling sulit sepanjang hidupnya.
Menurut Malik, program pemberantasan korupsi pun tampaknya telah mengalami perubahan fokus. Kalau dulu prioritas pertama KPK adalah pada penindakan, maka sekarang diubah, menjadi pendidikan anti korupsi dan pencegahan korupsi.
“Saat ini negara sebenarnya sedang bingung mau diapakan lembaga anti rasuah KPK. Negara memang ditengarai terlibat dalam pelemahan KPK, tapi juga tidak mau diseret dalam kemelut yang menjadikan aktor negara sebagai pihak yang turut berperan dalam pelemahan itu,” terangnya.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto menyampaikan sejarah keinginan untuk memperlemah peran KPK sebagai ujung tombak dalam perang melawan korupsi memang telah terjadi pada masa-masa sebelum sekarang.
“Namun yang membedakan misalnya pada masa Cicak vs Buaya 1, 2 dan 3 (kasus Soesno Duadji), upaya pelemahan itu selalu kandas karena presiden kala itu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak untuk menyetujui pelemahan KPK. Presiden pasang badan untuk membela KPK,” lanjutnya
Namun apa yang terjadi terang Wijayanto, pada 2019 lalu ketika DPR justru mengesahkan amandemen UU KPK dalam ketuk palu yang hanya berlangsung sekitar 20 menit untuk perbincangan pengesahan amandemen UU KPK.
“Menjadi lebih tragis, ketika Presiden Jokowi tidak kunjung mengeluarkan Perppu agar membatalkan amandemen UU KPK tersebut,” tegas Wijayanto