Scroll untuk baca artikel
Terkini

Pemerintah Naikkan Harga Eceran Tertinggi Beras, Tapi Petani Kok Tetap Miskin?

Redaksi
×

Pemerintah Naikkan Harga Eceran Tertinggi Beras, Tapi Petani Kok Tetap Miskin?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) memutuskan untuk menaikkan harga eceran tertinggi (HET) terbaru untuk beras medium sebesar Rp 10.900 per kilogram. HET beras naik Rp 1.450 dari HET sebelumnya sebesar Rp 9.450 per kilogram.

Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen di tingkat petani juga bakal naik menjadi Rp 5.000 per kg. Sebelumnya HPP gabah kering panen sebesar Rp 4.200 per kg.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengungkapkan alasan kenaikan HET dan HPP yang dilakukan pemerintah. Menurutnya kenaikan dilakukan untuk menguntungkan semua pihak.

“Untuk HET beras medium zona 1 Rp 10.900 per kg. Untuk zona 2 Rp 11.500 per kg, zona 3 Rp 11.800 per kg. Kemudian untuk beras premium zona 1 Rp 13.900 per kg, zona 2 Rp 14.400 per kg. Dan zona 3 Rp 14.800 per kg,” jelas Arief di Istana Negara, Jakarta, Rabu (15/3/2023).

Arief merinci untuk zona 2 yang mencakup wilayah Sumatera (selain Lampung dan Sumatera Selatan), NTT dan Kalimantan, HET beras medium ditetapkan sebesar Rp 11.500 per kg. Sedangkan premium Rp 14.400 per kg.

Sementara HET di zona 3 mencakup wilayah Maluku dan Papua, untuk beras medium ditetapkan Rp11.800 per kg. Dan premium Rp14.800 per kg.

Harga Beras Naik Tapi Pendapatan Menurun

Harga beras memang terpantau naik sejak medio Juli 2022 hingga saat ini. Tren kenaikan harga gabah, baik di tingkat petani hingga harga beras di tingkat penggilingan, terus menanjak.

Hanya saja, kenaikan harga beras ini ternyata belum menjamin peningkatan taraf hidup bagi petani di Indonesia. Seharusnya petani yang menjadi produsen pangan ikut terkerek kesejahteraannya.

Kenaikan harga beras memang tidak cukup berpengaruh terhadap pendapatan pemilik lahan pertanian, tetapi memang sebagian besar pemilik lahan pendapatannya menurun pada saat terjadi kenaikan harga beras.

Hal ini juga dikarenakan adanya hama tanaman (hama putih dan hama wereng cokelat) yang menyerang padi mereka. Hama ini
menyebabkan kualitas padi menurun, kualitas padi yang menurun menyebabkan pendapatan mereka ikut menurun.

Selain hama, benih unggul untuk tanaman padi harganya tinggi, sehingga bagi sebagian petani menggunakan benih unggul hanyalah untuk petani besar yang memiliki lahan yang luas.

Mereka yang memiliki lahan pas-pasan menggunakan benih hasil produksi padi yang telah dipanen pada musim panen sebelumnya, atau membeli bibit yang harganya cukup.

Namun, menurut sebagian petani, bibit yang mereka beli, kadang-kadang membuahkan hasil biasa, mereka mengira bahwa bibit tersebut telah dioplos atau dipalsukan oleh para pedagang.

Saat itu, masalah yang (kembali) terangkat menjadi isu publik adalah perbedaan (gap) yang mencolok antara kebutuhan pupuk petani yang diajukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dengan ketersedian kemampuan APBN.

Kebutuhan pupuk yang diajukan mencapai 24,3 juta ton, sedangkan ketersediaan APBN untuk mensubsidi hanya 25,3 triliun atau setara 9 juta ton, ada jarak kebutuhan dan kemampuan sebanyak 15,3 juta ton.

Belum lagi soal harga pupuk yang bagi banyak petani dinilai terlalu mahal. Harga pupuk yang mahal tidak terlalu disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk. Tetapi
juga adanya distorsi di dalam sistem pendistribusiannya.

Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik juga mempunyai suatu kontribusi yang besar terhadap peningkatan biaya produksi petani.