Saat itu, masalah yang (kembali) terangkat menjadi isu publik adalah perbedaan (gap) yang mencolok antara kebutuhan pupuk petani yang diajukan melalui Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) dengan ketersedian kemampuan APBN.
Kebutuhan pupuk yang diajukan mencapai 24,3 juta ton, sedangkan ketersediaan APBN untuk mensubsidi hanya 25,3 triliun atau setara 9 juta ton, ada jarak kebutuhan dan kemampuan sebanyak 15,3 juta ton.
Belum lagi soal harga pupuk yang bagi banyak petani dinilai terlalu mahal. Harga pupuk yang mahal tidak terlalu disebabkan oleh volume produksi atau suplai pupuk. Tetapi
juga adanya distorsi di dalam sistem pendistribusiannya.
Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik juga mempunyai suatu kontribusi yang besar terhadap peningkatan biaya produksi petani.