Scroll untuk baca artikel
Kolom

Pendidikan Literasi Keuangan: Rasio–Realitas Redenominasi Rupiah

Redaksi
×

Pendidikan Literasi Keuangan: Rasio–Realitas Redenominasi Rupiah

Sebarkan artikel ini
Realitas Redenominasi Rupiah
Ilustrasi

Redenominasi Rupiah bukan sekadar menghapus tiga angka nol, tetapi menguji sejauh mana bangsa ini memahami nilai di balik simbol.

Oleh: Dr. Ahmad Suryadi Nomi
(Praktisi Pendidikan, Ketua Program Studi Magister Teknologi Pendidikan, UMJ)

Pendidikan Literasi Keuangan sebagai Fondasi Ekonomi Rasional

SEBELUM membahas wacana redenominasi Rupiah, terdapat satu persoalan mendasar yang sering luput dari perhatian: rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia.

Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) OJK tahun 2022 menunjukkan tingkat literasi baru mencapai 49,68 persen, sementara tingkat inklusi keuangan telah mencapai 85,10 persen.

Artinya, semakin banyak masyarakat menggunakan produk dan layanan keuangan dari rekening digital hingga pinjaman daring namun tidak sepenuhnya memahami cara kerjanya.

Kesenjangan sekitar 35 persen ini ibarat rumah megah yang dibangun tanpa fondasi kokoh: tampak kuat di permukaan, tetapi rapuh dalam pemahaman.

Dalam situasi tersebut, wacana redenominasi Rupiah menghadirkan tantangan baru. Redenominasi merupakan penyederhanaan nilai nominal mata uang dengan menghilangkan tiga angka nol tanpa mengubah daya beli.

Namun bagi masyarakat yang minim pengetahuan finansial, penyederhanaan ini dapat memicu kebingungan: apakah nilai uang berubah, harga barang meningkat, atau daya beli menurun?

Karena itu, pendidikan literasi keuangan menjadi elemen penting untuk menjembatani kebijakan ekonomi yang rasional dengan persepsi publik yang emosional.

Literasi keuangan tidak hanya tentang keterampilan menghitung, tetapi pemahaman mengenai nilai, waktu, dan risiko dalam kehidupan nyata. Tanpa itu, kebijakan sekonstruktif apa pun berisiko disalahpahami dan menimbulkan kegaduhan publik.

Dari Angka Menuju Makna: Mengurai Logika Redenominasi

Pemerintah dan Bank Indonesia menempatkan redenominasi sebagai bagian dari agenda modernisasi sistem moneter nasional.

Tujuannya adalah memperkuat citra Rupiah, meningkatkan efisiensi transaksi, serta mempermudah sistem akuntansi dan digitalisasi keuangan. Secara teknis hal ini logis: uang seratus ribu menjadi seratus, sepuluh ribu menjadi sepuluh, tanpa mengubah daya beli.

Bagi ekonom, kebijakan ini bukan hal baru. Jepang, Korea Selatan, Turki, dan sejumlah negara Eropa Timur telah menerapkannya dengan hasil positif: transaksi lebih cepat, laporan keuangan lebih sederhana, dan kepercayaan internasional meningkat.

Namun efektivitas redenominasi tidak hanya ditentukan oleh stabilitas ekonomi dan kesiapan sistem. Faktor budaya dan psikologi publik menjadi penentu utama keberhasilan.

Jika masyarakat tidak memahami bahwa redenominasi berbeda dengan pemotongan nilai uang, maka penyederhanaan nominal dapat berubah menjadi kekacauan persepsi.