Scroll untuk baca artikel
Blog

Peneliti BRIN: Demokrasi di Indonesia Mengalami Penurunan

Redaksi
×

Peneliti BRIN: Demokrasi di Indonesia Mengalami Penurunan

Sebarkan artikel ini

Peneliti BRIN, Siti Zuhro mengungkapkan, salah satu indikator demokrasi di Indonesia mengalami penurunan ialah dengan maraknya kasus korupsi.

BARISAN.CO – Pada 17 April 2019, Pemilihan Umum (Pemilu) diadakan serentak. Saat itu, bukan hanya pemilihan Presiden Indonesia saja, namun juga ada Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Pemilu itu disinyalir sebagai pemilu yang menyimpang. Hal itu diungkapkan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro dalam Seri Dialog: Membongkar Polemik Penundaan Pemilu yang diselenggarakan oleh Forum Dialog Nasional (FDN).

“Ingatan kita tentang pemilu 2019 sangat luar biasa. Ratusan petugas KPPS meninggal dan distorsi dalam hampir semua tahapan pemilu serentak waktu itu. Hasil pemilu pun diumumkan tengah malam. Itu menunjukkan ada kroasi positif terhadap implementasi tata kelola pemerintahan kita,” katanya pada Rabu (13/4/2022)/

Menurutnya, ketika pemilu memiliki banyak distorsi, maka hasil yang dituai pun tidak berkualitas.

“Pemerintah tidak mampu membuat pemerintahannya itu partisipatif, transparan, dan akuntabel. Tiga hal itu tentunya yang disyaratkan oleh demokrasi,” lanjut perempuan asal Blitar itu.

Mantan peneliti senior Pusat Penelitian Politik LIPI yang kini telah dilebur menjadi BRIN ini mengungkapkan, fungsi representasi juga terlihat dari DPR yang kejar tayang termasuk UU Ibu Kota negara (IKN) yang seharusnya dipertimbangan dengan benar-benar serius.

“Alasannya sudah mengundang 30-an pakar dalam RDPU IKN, tapi menurut saya, itu tidak menjamin juga,” tambah profesor riset ilmu politik tersebut.

Dia menambahkan, kebiasaan tidak taat hukum juga perlu diberi role model.

“Jadi kalau visi besar pemerintah itu, antara lain meningkatkan kualitas SDM. Tidak hanya untuk investasi, tidak hanya untuk reformasi birokrasi, tapi kualitas SDM juga. Tidak hanya membangun infrastruktur, tapi SDM-nya ini juga harus dibangun juga,” tambah Siti Zuhro.

Siti Zuhro merasa peningkatan kualitas SDM di tanah air justru tercecer. Dia kemudian menggunakan istilah demokrasi di Indonesia mengalami penurunan.

“Indikatornya itu korupsi sangat marak. Berarti penegakan hukum kita dalam pemilu itu tidak hadir utuh. Ini harusnya menjadi salah satu pembelajaran bagi pemilu kita di 2024 itu agar tidak terjadi lagi seperti ini,” lugasnya.

Dia juga mengkorelasikan jika pemilunya berkualitas, berintegritas, dan beradab, maka akan berpengaruh terhadap hasilnya.

“Jadi supaya siapa pun yang menang itu tidak terjadi kerusuhan. Kalau pemilunya curang pasti nanti akan ada kerusuhan. Kompetisi, kontestasinya harus sehat,” ungkap Siti Zuhro.

Perempuan berusia 63 tahun ini menambahkan, apabila tidak dilakukan, pemilu hanya akan menjadi sebatas seremonial saja dan bahkan pilkada untuk 271 daerah.

“Bukan kita menyayangkan membuang-membuang uang, tapi tekad, keseriusan, dan political commitment untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas agar kita naik kelas yang akan datang,” paparnya.

Dia kemudian menyindir hal itu kemungkinan sulit terjadi karena belum lama ini, masyarakat dihebohkan dengan wacara penundaan pemilu dan presiden 3 periode.

Meski sudah ada pernyataan bahwa pemilu akan sesuai jadwal dari Presiden Jokowi, dia menyebut, masyarakat belum yakin jika jabatan presiden hanya 2 periode. Siti Zuhro menjelaskan, ini terjadi karena selama ini kepercayaan masyarakat selalu disia-siakan.

Dia pun mengibaratkan kepercayaan masyarakat sekarang ibarat benang basah yang sulit sekali untuk ditegakkan.

“Seolah-olah sah-sah saja kita mengotak-atik konstitusi, seolah-olah bermain di ruang kosong saja, publik tidak ada. Ini yang membuat publik marah karena dinafikan keberadaannya,” ungkapnya.