Scroll untuk baca artikel
Blog

Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Dinilai Tak Terbuka dan Berpotensi Transaksional

Redaksi
×

Penunjukan Penjabat Kepala Daerah Dinilai Tak Terbuka dan Berpotensi Transaksional

Sebarkan artikel ini

Pemerintah jangan menempatkan penjabat yang berpotensi ditumpangi kepentingan politik praktis untuk Pemilu 2024, karena bakal memicu kontroversi di masyarakat

BARISAN.CO – Rencana pengisian ratusan jabatan kepala daerah yang kosong dalam waktu dekat ini dinilai tertutup dan jauh dari partisipasi masyarakat.

Untuk itu, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyarankan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan aturan teknis mengenai penunjukan penjabat kepala daerah pada 2022-2023.

“Karena ini kan kita sama sekali tidak punya akses pada pengisian penjabat ini ya. Seolah kita hanya menjadi penonton terhadap siapa siapa yang akan menjadi pemimpin kita sekian tahun ke depan. Sudahlah kita kehilangan hak kita untuk memilih pemimpin daerah kita secara langsung, dan dalam proses ini pun kita sama sekali tidak punya prosedur atau mekanisme untuk terlibat,” kata Pembina Perludem, Titi Anggraini mengutip dari KBR, Senin, (11/4/22).

Sebelumnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) berbicara tentang pengisian jabatan kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022. Jokowi ingin penjabat kepala daerah yang mengisi jabatan itu diseleksi dengan baik.

Jokowi memaparkan akan ada 101 daerah yang membutuhkan penjabat untuk mengisi kekosongan kepala daerah. Rinciannya yaitu 7 gubernur, 76 bupati, dan 18 wali kota.

Menurut Titi, penunjukkan penjabat untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah sangat dilematis. Sebab rakyat akan sangat lama absen dipimpin kepala daerah definitif yang dipilih langsung melalui pilkada. Itu karena pelaksanaan pemilihan kepala daerah masih cukup lama, yakni 2024.

“Oleh karena itu pemerintah mestinya punya regulasi pada tingkat teknis yang lebih menggambarkan proses, tata cara, prosedur, mekanisme pengisian penjabat yang terbuka transparan akuntabel dan setidaknya memberi ruang partisipasi,” katanya.

Berpotensi Terjadi Jual Beli Jabatan

Titi menyarankan pemerintah melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan Transaksi dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam proses pengisian penjabat. Tujuannya agar pengisian tersebut tidak menjadi sarana praktik politik transaksional atau adanya praktik jual beli jabatan.

Menurut Titi, potensi praktik jual beli jabatan bisa terjadi, dan terbuka lebar. Selain itu, ia mengingatkan pemerintah untuk tidak penempatkan penjabat yang berpotensi ditumpangi kepentingan politik praktis untuk Pemilu 2024, karena bakal memicu kontroversi di masyarakat.

“Dulu tawaran kami ya sudah dibikin sederhana saja. Dibuat sederhana, jadi para pejabat itu langsung diisi oleh para sekda (sekretaris daerah) di masing-masing daerah. Ini juga bisa menggeser spekulasi ataupun kontroversi dugaan-dugaan adanya kepentingan nasional itu di tengah proses pengisian penjabat,” pungkasnya.

Titi juga menolak menempatkan personel TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. Kata dia, hal ini akan memunculkan spekulasi di tengah masyarakat soal upaya menghidupkan kembali dwifungsi TNI/Polri. Sebab, pada dasarnya posisi kepala daerah merupakan posisi yang politis.

Ia menekankan, pemerintah memastikan agar penjabat yang dipilih adalah sosok tepat dan betul-betul memiliki kemampuan menjalankan tugas sesuai harapan. [rif]