PENYAIR PEMULUNG DI HARI KEMERDEKAAN
Bagi: Riani Pemulung
Dengan sebatang pucuk bambu aku kibarkan bendera
Daerahku adalah gang-gang peradaban
Tak ada sejarah American fried chicken atau Chinesse food
Barangkali ke sejawat Banda Neira, saat para juragan mencipta kopi
Guna melawan penjajah yang mengajari rakyat menenggak minuman keras
O, bahkan aku acap berhutang nasi untuk makan siang ini
Namaku, ah tak penting benar
Pun alamatku, sebutlah lorong dunia ketiga tanpa kode pos
Tapi kemarin aku ikut serta dalam pesta penyair anak cucu Chairil Anwar
Ke Jakarta aku tak kembali, berkereta Tegal-Jakarta dengan tiket cukup murah
Berbekal nasi ponggol, bekal kebenaran sejak penyerangan Mataram ke Batavia VOC
Di Taman Ismail Marzuki aku baca puisi CA: aku ini binatang jalang dari kumpulan terbuang
Dari Jakarta aku mesti kembali, menjemput tujuan sesungguhnya dari arti hidupku
Yakni: keindahan…
Ya inilah hidupku, mengais sampah, mengumpulkan barang rongsokan
Untuk lanjut cita-cita anak-anakku
Apakah mesti aku akui, aku ibu, kerja dan bahagiaku
Aku bukan petani kopi atau tembakau, bukan pula empu keris atau sunan jaga wayang
Bukan, aku bukan pejuang semesta atau pahlawan dalam kitab history
Di tumpukan rongsok perolehanku, berlatar dinding seng berkarat pabrik riwayat
Aku pancangkan merah putihku, lalu aku gumamkan lagu kebangsaan itu:
Bangunlah jiwanya
Bangunlah badannya…
Semarang, 5 Agustus 2022
PENYUTRADARAAN SKENARIO
Drama berlangsung tanpa skenario
Tapi tangan sutradara tampak besar on stage
Para pemain serupa boneka mainan dengan tali-tali ke tangan yang melayang
Tak ada etika keaktoran pun estetika teater
Bahkan primadona perlu dijaga emosi jiwanya
Berlaku sebagai rol juga pengatur laku
O, ini panggung besar macam Broadway
Tapi para pelakonnya lebih beringas dari teater jalanan
Mereka tidak hanya makan kaca tapi juga mengunyah peluru
Nun di panggung kecil pojok semesta
Adalah pertunjukan rakyat dunia ketiga
Seorang aktor eksekutor berperan sebagai penembak bayaran
Skenario menunjuk ia mesti menembak kepala primadona
Tapi ia toh manusia berdarah daging, ia tak tega bagai cowboy
Ia tembak perut dan berharap tanpa jejak
Tapi sang sutradara tetap perintahkan tembak kepala
Kembali ia, tapi ada figuran seorang anak, dan tetap ia tembak di perutnya
Tapi ini, di panggung besar itu seorang aktor pembantu mengesekusi pelakon
Ia berondongkan peluru, ia siksa si sekarat, ia tembak kepalanya dari jarak dekat
Total, tuntas, lampu pun dipadamkan
Sutradara puas…
Tapi penonton terdiam, tak ada tepuk tangan
Gaduh kursi-kursi sebelum ditinggalkan
Mereka protes: mana etika, di mana estetika
Segalanya hitam dan digelapkan