“Istigfar Kang! Kabeh iku wis ginaris! Awake dewe iki mung balung kere, dadi ya kudu nrimo ing pandum,” ucap Turmini lembut. Ajaib! Entah karena mantra Turmini atau entah karena apa, perlahan Darto membuka matanya. Kini sorot matanya sudah tak seperti tadi. Lelaki itupun segera duduk dan meminta maaf kepada Turmini.
“Aku khilaf Tur,” ucap Darto singkat. Nada bicaranya seperti tak bertenaga sama sekali.
“Kita ini sudah ditakdirkan menjadi wong melarat. Jangan heran kalau terus-terusan dibohongi oleh para pejabat. Itu sudah bagian dari garis hidup kita Kang! Jadi ya kudu eling,” sambung Turmini kembali sembari mengajak Darto pulang.
Setengah senja telah menginjakkan kakinya di padang rumput milik Darto ketika sepasang suami istri itu berjalan menyusuri pematang ke arah perkampungan. Di depan langkah Darto,Turmini terlihat menuntun beberapa dombanya. Punggungnya terlihat menggendong beberapa buah terong dan kacang panjang.
Sementara Darto berjalan di belakangnya menyungggi rumput Tebon-tebonan untuk pakan domba-dombanya esok hari. Suara muadzin Parmin yang cempreng itu telah memenuhi langit kampung. Suaranya mengusir heningnya padang rumput milik Darto. Pertanda Maghrib telah masuk.
Kabar tentang Darto yang berteriak-teriak kesetanan di padang rumput miliknya segera menyebar bak bau terasi yang dibakar. Entah siapa yang telah memulai menyebarkannya. Yang jelas dari hari ke hari kabar burung itu semakin beragam saja bumbunya. Mulai dari kere munggah balai, kesurupan, kualat, gila hingga kerasukan roh penunggu kuburan cina. Semuanya enak untuk dinikmati karena telah diolah dengan memadukan takhyul, gugon tuhon, politik serta konspirasi para elit.
“Sudah dibilang kalau rumput yang ditanam Darto itu rumput wingit kok ya nekat. Kualat sakiki! Kapokmu kapan!” ucap Wagiyem sambil membilas cucian bajunya di pancuran sungai pagi itu. Di sampingnya terlihat Lastri hanya menyimak perkataan Wagiyem.
“Masak ya ada rumput wingit?” tukas Lastri menyela tak percaya . Perempuan yang pernah menjadi TKW di Taiwan itu tak sedikitpun percaya omongan Wagiyem.
“rumput Tebon-tebonan yang ditanam Darto asalnya dari sana itu,” terang Wagiyem sembari jemarinya menunjuk ke arah kuburan cina yang dimaksud. Ketika mata Lastri mengikuti arah telunjuk Wagiyem barusan, pandangan Lastri segera menangkap deretan kuburan di atas bukit yang ditunjuk Wagiyem tersebut. Tak urung, bulu kuduk Lastri tiba-tiba saja meremang. Ia ikut-ikutan disergap rasa takut.