Meski, pemerintah telah menetapkan dengan jelas batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun serta meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak, namun perkawinan anak masih terjadi.
BARISAN. CO – Tahun 2020, Badan Pusat Statistik menemukan, jumlah perkawinan dini sebanyak 1.220.900. Sedangkan, UNICEF menyebut, Indonesia menempati urutan ke-8 dengan jumlah pernikahan anak tertinggi di dunia.
Pada akhir bulan lalu, viral video pernikahan sepasang anak di bawah umur di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Dalam berbagai informasi di media disebutkan, Ferdi (15) menikah siri dengan Saskia (16) lantaran dijodohkan dan orangtuanya juga sakit-sakitan. Namun, mempelai pria, menyampaikan, takut jika Saskia direbut oleh orang lain.
Apa pun alasan yang melatarbelakangi pernikahan dini ini tidak dapat dibenarkan. Terlebih, pemerintah telah menetapkan dengan jelas batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun melalui UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan.
Menurut Direktur Eksekutif United Nations Population Fund (UNFPA), Babatunde Osotimehin, perkawinan anak adalah pelanggaran hak asasi manusia yang mengerikan.
“Merampas pendidikan, kesehatan, dan prospek jangka panjang anak perempuan,” kata Babatunde.
Anak perempuan yang menikah di usia muda juga lebih rentan terhadap kekerasan pasangan intim dan pelecehan seksual daripada mereka yang menikah kemudian.
“Komplikasi kehamilan dan persalinan, penyebab utama kematian pada remaja putri usia 15-19 tahun. Gadis muda yang menikah kemudian dan menunda kehamilan di luar masa remaja memiliki kesempatan lebih banyak untuk tetap sehat, meningkatkan pendidikan, dan membangun kehidupan yang lebih baik bagi diri mereka sendiri dan keluarganya,” ujar Flavia Bustreo, Asisten Jenderal Keluarga, Perempuan, dan Kesehatan Anak-anak di WHO.
Mengutip UNFPA, anak-anak juga rentan terhadap infeksi menular seksual (IMS) termasuk HIV. Mereka juga tidak memiliki informasi tentang perlindungan diri dari IMS dan kehamilan yang tidak direncanakan. Anak perempuan yang menikah muda lebih cenderung berpikir, pemukulan kepada mereka dapat dibenarkan.
Yang lebih disayangkan adalah kebanyakan anak perempuan yang telah menikah jarang melanjutkan sekolah karena harus memikul tanggung jawab rumah tangga yang signifikan. Hal ini membatasi potensi masa depan dan mempersulit keluarga untuk keluar dari jurang kemiskinan.
Minimnya pendidkan dan pemberdayaan seperti ini berakibat kurangnya kemampuan untuk mengadvokasi kesejahteraan anak-anak mereka nantinya. Anak-anak dari pengantin anak memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi, hasil gizi lebih buruk, dan cenderung kurang berpendidikan. Secara kumulatif, pernikahan anak memakan korban yang sangat besar bagi masyarakat, tenaga kerja dan ekonomi, serta kerugian itu dibawa dari generasi ke generasi.
November 2019, UNFPA dan Universitas Johns Hopkins bekerja sama dengan Universitas Victoria, Universitas Washingston, dan Avenir Health merilis studi bersama, untuk mengakhiri pernikahan anak di 68 negara pada tahun 2030 dibutuhkan biaya US$35 miliar.
Biaya itu digunakan untuk intervensi pendidikan, inisiatif pemberdayaan, dan program yang mengubah norma sosial seputar pernikahan anak dan akan mencegah sekitar 58 juta pernikahan anak.
Meski, pemerintah telah meluncurkan Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak pada Februari 2020, namun belum dapat dikatakan berhasil. Saat itu, Menteri PPN/Bappenas, Suharso Monoarfa mengatakan, perlu untuk memperkuat koordinasi dan sinergi serta pelibatan multistakeholder dalam menangani pernikahan anak.
“Sesuai instruksi Presiden Jokowi, pernikahan anak harus dihentikan. Pencegahan perkawinan anak merupakan tindakan yang tidak dapat ditunda. Hentikan pernikahan anak sekarang!” kata Suharso pada acara peluncuran itu.
Pernikahan anak menjadi problema yang sulit untuk dikendalikan. Namun, dengan adanya sinergi bersama antara pemerintah pusat dan daerah kemungkinan besar akan dapat dihentikan. Amat disayangkan juga, saat keluarga Ferdi dan Saskia mendatangi kelurahan untuk meminta izin menikah, mereka tak dapat menghentikan pernikahan itu. Meski, kelurahan menolak, namun pernikahan itu tetap terjadi walaupun siri. Hingga saat ini juga, kementerian terkait belum jua berkomentar.
Padahal, tahun lalu, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makariem sempat menyatakan bahwa perkawinan anak yang menghilangkan kesempatan mengenyam pendidikan berkualitas dan pekerjaan yang layak.
Nestapa ini masih terjadi. Anak-anak yang seharusnya menikmati masa sekolah dan bermain terbelenggu dalam biduk rumah tangga.
Oleh karena itu, selain berfokus dengan isu krusial, seperti pembangunan Ibu Kota Negara baru, pemerintah seyogyanya perlu untuk lebih gencar mengedukasi anak-anak dan keluarga untuk mencegah penikahan anak. Tanpa adanya keseriusan, strategi yang telah dicanangkan hanya akan jadi angin lalu.