SETIAP tanggal 27 Rajab dalam penanggalan Hijiriyah, umat Islam mengenal sebuah peristiwa keagamaan yang biasa disebut dengan Isra’ mi’raj. Yaitu perjalanan nabi Muhammad menuju langit dan bertemu langsung dengan Sang pencipta.
Perjalanan tersebut oleh sastrawan dari India yang bernama Muhammad Iqbal dilukiskan sebagaimana berikut ini: “Muhammad memang telah naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi untuk memandu perubahan jaman. Demi Allah aku bersumpah, bahwa andai saja aku yang telah mencapai tempat itu, maka aku tidak ingin kembali lagi ke dunia ini.”
Kalimat senada dengan pernyataan Muhammad iqbal juga pernah diucapkan oleh seorang sufi besar bernama Abdul Quddus. Kalimat di atas seolah-olah hendak mengatakan tentang bagaimana perbedaan Psikologis antara kesadaran seorang rasul dan kesadaran seorang sufi.
Pengalaman Mistik yang telah dicapai oleh seorang sufi membuatnya tidak ingin kembali lagi dari suasana tentramnya “pengalaman tunggal” tersebut. Dan kalau pun ia harus kembali karena mesti demikian adanya, maka kembalinya tersebut pun tidaklah akan memberi arti yang besar bagi kehidupan umat manusia.
Akan tetapi, kembalinya seorang nabi dari “pengalaman tunggal” memberi arti kreatif. Ia kembali ke dunia untuk menerjunkan diri kembali ke dalam kancah pergulatan zaman untuk memandu arah sejarah umat manusia dan dengan itu pula Rasul ingin menciptakan suatu tatanan dunia baru yang ideal.
Muhammad Iqbal sama sekali tidak menafikan pengalaman spiritual yang dialami oleh para sufi tersebut. Bagi Iqbal, pengalaman tunggal sebagai bentuk kesadaran sufi itu sangat diperlukan untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh seorang manusia biasa. Pengalaman spiritual itu dapat diibaratkan sebagai sebuah proses pengisian daya battery agar Hand Phone dapat berfungsi normal kembali.
Pengalaman spiritual tersebut penting untuk ancang-ancang dalam melakukan perubahan sosial. Isra’ Mi’raj memberi sinyal bahwa Ajaran Islam memang mengharuskan adanya keseimbangan antara hablum minallah wa hablum minannas. Pengalaman spiritual Rasulullah pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini menjadi pertanda bahwa sesungguhnya setiap manusia akan dapat mengalami perjalanan ruhani tentu saja dengan segala kualitasnya yang berbeda-beda.
Tema lain yang tak dapat dipisahkan ndari peristiwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan Rasulullah untuk menerima perintah sholat 5 waktu. Sebagian besar ulama menyatakan bahwa sholat dapat diandaikan sebagai Isra’ Mi’raj-nya orang awam. Dan saking pentingnya ibadah tersebut sehingga Allah sendiri yang langsung menyampaikan kepada Rasulullah. Hal ini tentu berbeda dengan perintah yang lain. Allah cukup dengan melalui malaikat Jibril.
Terlepas dari itu semua, sholat yang dapat diibaratkan sebagai perjalanan Isra’ Mi’raj-nya orang awam tersebut ternyata memiliki dua pesan utama. Pesan pertama adalah jangan terlalu larut dengan nikmatnya pengalaman spiritual yang hanya bersifat individual tersebut.
Sekembalinya dari sholat manusia diperintahkan untuk sesegera mungkin kembali terjun ke gelanggang perubahan jaman untuk menjadi pemandu sejarah. Pesan kedua adalah pesan pesan ekologis sebagai bentuk manifestasi dari ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.
Kita semua mafhum bahwa Ibadahssholat tak dapat dipisahkan dari kewajiban bersuci sebelum menunaikannya. Bersuci pada umunya menggunakan air. Itu artinya memperbincangkan dari mana, bagaimana dan ke mana air itu dapat kita pergunakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan umat Islam.