Scroll untuk baca artikel
Blog

Pikiran Besar dan Pikiran Kecil

Redaksi
×

Pikiran Besar dan Pikiran Kecil

Sebarkan artikel ini

ADA dua contoh pikiran besar dan pikiran kecil dalam dunia intelektual. Contohnya, Goenawan Mohamad selalu menggunakan pikiran besar dalam tulisannya. Bagaimana soal rakyat di dalam negeri ditarik ke filsafat Yunani atau teori modern hingga post modern.

Pikiran kecil sebagaimana tulisan Soe Hok Gie. Misalnya, tentang gambaran a-sosial seorang gelandangan yang makan sisa makanan di tong sampah di tengah aksi demo mahasiswa menuntut turunnya Soekarno. Bagaimana soal perbedaan kaya-miskin menjadi catatan politik bagi mahasiswa yang mau melawan kekuasaan presiden seumur hidup.

Dalam tulisan tentang Marhaenisme, Soekarno mengajukan pikiran kecil tentang kisahnya. Cerita tentang dirinya bertemu petani bernama Pak Marhaen. Seorang petani kecil dengan sebidang tanah dan satu rumah kecil sedehana. Tapi dia bahagia hidupnya, karena bisa memberi makan orang lain meski dirinya makan ketela.

Bagaimana dalam tulisannya itu, Soekarno mengecilkan pikiran besar Marx-Hegel-Angel yang olehnya disingkat Marhaen, gambaran seorang petani kecil di satu desa terpencil di negara yang dipimpinnya, Indonesia.

Di Indonesia, pikiran besar dan pikiran kecil menjadi perdebatan kemarin dan hari ini. Bermula dari tulisan kaum intelektual, dan merembes ke masyarakat umum. Pemikir seperti Ivan Ilich atau Milan Kundera bermaksud melawan pikiran-pikiran besar para filsuf. Terjadi pertarungan di dalam diri kaum intelektual kita hari ini.

Pilihan yang menyulitkan bagi para penulis, mengingat mediamassa dan penerbit buku lebih memakjulkan tulisan dengan pikiran-pikiran besar. Tak aneh budayawan seperti Emha Ainun Nadjib atau Muhammad Sobari ulang-alik antara pikiran besar dan pikiran kecil. Itu sebabnya mereka acap berusaha di tengah, dengan tulisan bergaya metafora yang sastrawi.

Tidak hanya melalui tulisan, mereka juga kompromi besar-kecil dalam ceramahnya. Sebabnya yang dihadapi adalah dilema besar-kecil konsep kekuasaan sejak orde baru hingga reformasi. Mereka pun mesti dihadapkan pada pilihan, berada di matra kekuasaan atau skala rakyat.

Sejak Arief Budiman hingga Rocky Gerung, jelas, mereka ada dalam pilihan di skala rakyat kecil, baik di ranah sosial atau politik. Meski pilihan ini bisa jadi dilema, kala kaum politisi melihat keberpihakan mereka.

Sampai pada gilirannya, soal hari ini mengemuka atas sinyalemen Cak Nun Emha Ainun Nadjib. Statemennya tentang Jokowi yang dipadankan dengan penguasa dan kekuasaan Fir’aun. Ya, Fir’aun yang represif dan otoritarian bahkan mengaku diri Tuhan.

Ialah karena CN juga menyebut Hamam Luhut Panjaitan, dan Khorun Antony Salim plus Sembilan Naga. Itu artinya, CN menyamakan Jokowi dengan Fir’aun di jaman Nabi Musa. Lebih dari itu kalau disebut penghinaan, CN telah menghina Presiden sebagai simbol|institusi negara.

Dalam teori strukturalisme, CN telah menarik pikiran kecil ke pikiran besar Fir’aun dan Nabi Musa. Sebabnya, bukankah Jokowi adalah seorang tukang kayu. Dan CN memang telah bicara besar penguasa dan kekuasaan serupa sang despot Jendral Besar Soeharto, yang berkuasa tigapuluh lima tahun. Setelah memakan ribuan korban nyawa dalam peristiwa politik besar 1965.

Demikianlah, pikiran besar dan pikiran kecil terus bertarung di dalam diri manusia. Akibat yang ditimbulkannya, adalah pertarungan besar di tengah masyarakat yang terus dicekoki pikiran besar. Padahal seorang pemikir kontekstual — lawan dari universal-internasionalisme mendunia — bersesanti: small is beautiful.***