Scroll untuk baca artikel
Kolom

Pilihan Waras vs Pragmatis Wani Piro

Redaksi
×

Pilihan Waras vs Pragmatis Wani Piro

Sebarkan artikel ini
pragmatis Pilihan Waras
Imam Trikarsohadi

Yang ketiga adalah tipe pemilih skeptis. Tipe pemilih seperti ini memiliki orientasi atas ideologi yang cukup tinggi terhadap sebuah partai atau kandidat, dan juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting.

Pemilih skeptis sangat kurang keinginannya untuk terlibat dalam masalah sebuah partai politik dan/ atau kandidasi, karena memang mereka memiliki ikatan ideologis yang rendah.

Sebab itu pemilih tipe ini perlu perlu diberikan pencerahan dan motivasi agar menggunakan hak pilihnya secara baik dalam gelaran Pilkada.

Yang keempat adalah pemilih pragmatis. Pemilih tipe ini biasanya lebih banyak dipengaruhi oleh pertimbangan untung dan rugi.

Suara mereka akan diberikan kepada kandidat yang bisa mendatangkan keuntungan sesaat secara pribadi kepada mereka. Inilah yang lazim disebut sebagai praktik politik sodagar (transaksional) yang kian kemari semakin vulgar dilakukan.

Pragmatisme pada dasarnya berlawanan dengan konsep idealisme. Kalau idealisme dilandasi oleh nilai-nilai moral dan etika.

Politik yang berpijak kepada kebenaran, kepatutan, kejujuran, dan nilai-nilai etika politik yang lain, maka pragmatisme beranjak kepada realitas sosial yang ada, kepentingan dan kondisi yang dialami oleh masyarakat.

Oleh karena itu, maka pragmatisme dapat menimbulkan politik saudagar yang memberlakukan hukum pasar dalam politik.

Pada era pragmatisme politik ini suplay dan demand menjadi motto dalam setiap helatan politik. Terjadinya hukum pasar atau politik saudagar ini memberikan peluang besar pada kaum kapitalis/pemodal untuk menjadi pemenang dalam kompetisi politik.

Dengan modal yang dimiliki, kaum pemodal/ bohir bisa membeli posisi strategis dalam partai bahkan mungkin “membeli partai”, membeli rekomendasi sampai dengan membeli suara dalam pilkada.

Implikasinya lebih jauh, masyarakat tidak mempunyai harapan masa depan terhadap helatan Pilkada karena mereka telah menjual suaranya saat pencoblosan.

Sebaliknya kaum pemodal/bohir lah yang mempunyai hak untuk menentukan arah kebijakan sesuai dengan niat dan orientasi mereka.

Politik saudagar yang dilandasi oleh politik pragmatisme ini berimplikasi lebih jauh dalam proses pelayanan dan prioritas pembangunan.

Ketika paslon kandidat yang berhutang modal kepada bohir telah menduduki jabatan publik, maka pejabat publik tersebut akan memberlakukan hukum ekonomi dalam mengarahkan bantuan, menentukan prioritas pembangunan, dan juga pelayanan kepada masyarakat.

Prioritas pembangunan dan pelayanan seperti pengaspalan jalan, bansos, dan pelayanan umum lainnya akan diutamakan kepada kelompok atau entitas dimana pejabat publik tersebut mendapatkan suara banyak ketika pemilihan dilangsungkan.