“…jika Anies Baswedan gagal berlayar dalam kontestasi, itu pertanda Partai Keadilan Sejahtera (PKS) punya andil besar dalam kegagalan tersebut…”.
Oleh: Imam Trikarsohadi
(Dewan Pakar Pusat Kajian Manajemen Strategik)
BELAKANGAN ini, terkait Pilkada Jakarta, ada semacam upaya pembentukan persepsi atau opini; “…jika Anies Baswedan gagal berlayar dalam kontestasi, itu pertanda Partai Keadilan Sejahtera (PKS) punya andil besar dalam kegagalan tersebut…”.
Lantas, fokus perhatian pun beramai-ramai tertuju kepada PKS, tanpa memahami secara valid realitas apa yang sedang terjadi.
Dan, saya pikir, cara pandang dan perilaku yang demikian adalah tindakan ceroboh, gegabah dan kurang bijaksana.
Apa sebab? Jawabnya belum ada persekutuan koalisi dan satu kandidat pun di Pilkada Jakarta yang telah resmi mendeklarasikan diri.
Semuanya masih dalam proses kalkulasi, bargaining position, menimbang-nimbang, menggelar SWOT analisis, menebar jala komunikasi politik, dan seterusnya.
PKS sendiri, sebagai pemegang kursi terbanyak di Jakarta dengan 18 kursi, sudah sejak awal berkomitmen mengusung Anies Baswedan maju pada Pilkada DKI 2024, dengan mematok kader PKS, Sohibul Iman sebagai cawagubnya.
Paslon yang disingkat AMAN ini, sudah pula dikomunikasikan ke mitra koalisi di era Pilpres 2024 yakni, Partai Nasdem dan PKB. Proses ini sedang berjalan dan tinggal menunggu finalisasi.
Artinya, komitmen PKS dengan Anies Baswedan sudah rampung sejak awal, tinggal bagaimana kemudian Anies yang ditugasi menggenapi jumlah 4 kursi agar menjadi 22 kursi hingga bisa berlayar di Pilkada Jakarta 2024 memainkan peran itu setrengginas mungkin agar semuanya terealisasi sesuai schedule. Sampai disini clear.
Tapi kemudian, ditengah – tengah proses tersebut diatas, muncul wacana KIM plus dari para parpol koalisi pemenang Pilpres 2024.
Seiring dengan itu, muncul aneka persepsi dan opini, yang dengan subyektifitas hitung-hitungan, prakiraan dan bahkan purbasangka; mencurigai PKS berpotensi akan terbawa serta dalam KIM plus.
Sejatinya, boleh-boleh saja punya cara pandang demikian, tapi jika kemudian cara pandang ini diorganisir, sepertinya terlalu reaksioner, karena tidak simetris dengan fakta yang sedang berproses.
Hal itu sekaligus justru menjauhi akar masalah. Karena akar masalah agar Anies Baswedan bisa berlayar pada Pilkada Jakarta adalah segera menggenapi kursi dukungan yang dibutuhkan; 4 kursi lagi, dan itu diluar kendali PKS.
Jadi, semestinya, PKS yang sudah sejak awal bersedia menghibahkan 18 kursi, justru harus dirawat dengan penuh energi positif dan terus diberi semangat.
Ihwal PKS mengusulkan Sohibul Iman menjadi cawagub, itu amat sangat lumrah, karena PKS adalah pemegang kursi terbanyak di Jakarta dan punya kewajiban menjaga suasana kebatinan konstituennya sebagai bagian managerial merawat dan meningkatkan eksistensi partai sebagai sebuah sistem.
Dan, sebagaimana judul diatas bahwa Pilkada itu persaingan, bukan romantisme. Maka, dalam konteks ini perlu digelar kesadaran penuh bahwa kekuasaan ada dimana- mana, dan persaingan untuk berkuasa juga ada dimana-mana.
Sebab itu, antara yang ingin berkuasa dan yang tidak rela dikuasai memberikan energi dan motivasi untuk saling bersaing. Sebab itu, di titik ini perlu kawaspadaan agar tidak lantas menari-nari, panik atau bahkan tawuran oleh sebab gendang yang ditabuh oleh kompetitor.
Kematangan berpolitik didapat melalui persiangan yang acapkali melelahkan dan menyebalkan. Untuk itulah persaingan merupakan sesuatu yang baik untuk mendorong siapapun agar bersedia terus menerus belajar dalam meningkatkan kemampuan, pengetahuan, skill,dan kompetensi dalam menjawab aspirasi dan memecahkan permasalahan dalam masyarakat.
Konsep kelangkaan (scarcity) dalam ilmu ekonomi merupakan rasionalitas yang ada dibalik setiap adanya persaingan, apalagi persaingan politik. Yang menjadi pemenang persaingan hanyalah satu, tunggal dan mutlak.