Scroll untuk baca artikel
Terkini

Polarisasi Media Bisa Memicu Ketegangan Dalam Negeri

Redaksi
×

Polarisasi Media Bisa Memicu Ketegangan Dalam Negeri

Sebarkan artikel ini

“Media online apalagi hanya komen satu cuitan jadi berita. Saya sering sedikit cuitan jadi berita,” lanjutnya.

Menurutnya, narasi yang awalnya dibangun buzzer di media sosial bisa masuk ke televisi dan sampai ke masyarakat yang tidak mengakses media sosial.

“Ini relasi yang membahayakan. Media punya peran yang besar juga dalam mengaplifikasi buzzer,” ungkap Ismail.

Ini memang menjadi tugas berat bagi jurnalis untuk tetap menjaga kualitas demi kokohnya pintu demokrasi.

Saat ini, jurnalis juga menggunakan media sosial sebagai sumber tulisan. Peneliti komunikasi, Sascha Holig mengungkapkan, tren tersebut menyudutkan jurnalis karena kehilangan kontak dengan orang-orang biasa. Sedangkan, penelitian lain mengindentifikasi Twitter sebagai cerminan realitas yang terdistorsi.

Mengutip NiemanLab, banyak orang yang kini menyebut outlet media berita partisan mendorong polarisasi politik dan perpecahan. Khususnya, saat media tersebut sangat mendukung satu pihak dan menjelek-jelekkan pihak lain yang secara alami mempercepat polarisasi di antara masyarakat.

Memang ada konsukuensi serius dari campur tangan politik terhadap media. Ini mengarah pada polarisasi mayarakat lewat penyebaran informasi yang salah. Ruang sipil menjadi semakin sempit oleh manipulasi politik.

Kebebasan berekspresi dan arus infomasi yang bebas merupakan landasan demokrasi. Oleh karena itu, jurnalis sangat penting dalam berfungsinya masyarakat demokratis yang memberikan informasi berkualitas kepada orang-orang, memfasilitasi debat publik, dan bertindak sebagai pengawas.

Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia yang lalu, Reporters Without Borders (RSF) menerbitkan laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2022. Dalam laporan itu, peningkatan dua kali lipat polarisasi diperburuk oleh kekacauan informasi berupa polarisasi media yang memicu perpecahan di dalam negeri dan polarisasi antar negara di tingkat internasional.

Dalam sebuah pernyataan, disebutkan, dalam masyarakat demokratis, perpecahan tumbuh sebagai akibat dari penyebaran opini media model Fox News dan penyebaran sirkuit disinformasi yang diperkuat dengan cara fungsi media sosial.

Di saat bersamaan, perbedaan antara masyarakat terbuka dan pemerintah otokratis mendominasi media dan platform online sambil mengobarkan kampanye propaganda melawan demokrasi. Oleh karena itu, menurut RSF, polarisasi pada tingkat berbeda memicu meningkatnya ketegangan. [rif]