Scroll untuk baca artikel
Terkini

Polarisasi Media Bisa Memicu Ketegangan Dalam Negeri

Redaksi
×

Polarisasi Media Bisa Memicu Ketegangan Dalam Negeri

Sebarkan artikel ini

Dalam laporan Reporters Without Borders (RSF) meningkatnya polarisasi diperburuk oleh kekacauan informasi berupa polarisasi media yang memicu perpecahan di dalam negeri.

BARISAN.CO – Algoritma di media sosial bersifat persuasif yang dirancang untuk memodifikasi perilaku serta memanfaatkan respon emosional dan psikologis pengguna. Banyak algoritma machine learning yang dirancang guna memprioritaskan konten dengan keterlibatan tinggi tanpa mempertimbangkan misinformasi. Ini juga mennjadi penjelasan jelas, mengapa berita palsu menyebar enam kali lipat lebih cepat di Twitter.

Di tahun 2017, sebuah studi Jepang mengamati pengguna di Twitter yang terlibat atau mengikuti orang-orang dari sudut pandang berbeda. Studi tersebut menemukan, ketika pihak berlawanan prihatin dengan masalah berbeda mereka jarang melintasi batas komunitas sehingga menciptakan ruang gema melalui fitur siapa yang harus diikuti.

Situasi serupa terjadi hampir di seluruh platform, seperti rekomendasi YouTube berdasarkan riwayat tontonan dan Instagram dari halaman yang dijelajahi saja.

Ketidakpercayaan pada fakta dan jurnalisme telah menjadi konsekuensi berkelanjutan dari algoritma media sosial yang cenderung memprioritaskan keterlibatan ketimbang akurasi. Serangkaian jajak pendapat Pew Research menemukan, Partai Republik AS lebih sedikit mempercayai situs berita daripada sebelumnya. Bahkan konyolnya lagi, pidato dan postingan mantan Presiden AS, Donald Trump justru lebih sering dibaca dan dipercayai.

Dalam webinar yang diadakan Partai Gelora “Polarisasi Politik Pemilu 2024, Akankah Kembali Berulang?”, Founder Drone Emprit, Ismail Fahmi menyebut, fake news lebih cepat menyebar ketimbang kebenaran dan itu dilakukan oleh manusia bukan bot.

“Psikologi manusia ketika ada fake news, hoax news, itu lebih senang nge-share. Makanya, ini menjadi berita buruk karena dari kita sendiri,” kata Ismail pada Rabu (29/6/2022).

Lalu, dia menghubungkan media sosial dengan kekhawatiran polarisasi dan politik identitas karena media sosial dari influencers.

“Bagaimana pengaruh dari media sosial terhadap informasi politik kepada publik. Hasilnya publik mendapat informasi politik paling besar dari televisi. Tapi, jangan salah TV sekarang motong berita ditaruh di YouTube dan anak milenial nontonnya di YouTube,” lanjut Fahmi.

Dia menambahkan, informasi politik yang didapatkan masyarakat terbesar kedua bersumber dari media sosial.

“Inilah yang kemudian dikejar oleh influencer dan buzzer. Mereka mencoba membangun narasi di media sosial terutama Twitter. Untuk isu-isu nasional, Twitter itu the best,” tambahnya.

Ismail menjelaskan, alasannya karena banyak jurnalis yang mantengin trending topic yang kemudian dijadikan konten bahkan di setiap televisi ada programnya.

“Media online apalagi hanya komen satu cuitan jadi berita. Saya sering sedikit cuitan jadi berita,” lanjutnya.

Menurutnya, narasi yang awalnya dibangun buzzer di media sosial bisa masuk ke televisi dan sampai ke masyarakat yang tidak mengakses media sosial.

“Ini relasi yang membahayakan. Media punya peran yang besar juga dalam mengaplifikasi buzzer,” ungkap Ismail.

Ini memang menjadi tugas berat bagi jurnalis untuk tetap menjaga kualitas demi kokohnya pintu demokrasi.

Saat ini, jurnalis juga menggunakan media sosial sebagai sumber tulisan. Peneliti komunikasi, Sascha Holig mengungkapkan, tren tersebut menyudutkan jurnalis karena kehilangan kontak dengan orang-orang biasa. Sedangkan, penelitian lain mengindentifikasi Twitter sebagai cerminan realitas yang terdistorsi.

Mengutip NiemanLab, banyak orang yang kini menyebut outlet media berita partisan mendorong polarisasi politik dan perpecahan. Khususnya, saat media tersebut sangat mendukung satu pihak dan menjelek-jelekkan pihak lain yang secara alami mempercepat polarisasi di antara masyarakat.