BUAH simalakama kini tengah menghantui elite Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Bila mereka tetap berseberangan dengan pilihan konstituennya, kedua partai ini terancam tidak lolos ke Senayan.
Dari sejumlah survei sampai saat ini elektabilitas PPP dan PAN selalu bertengger di zona kritis. Ambang bahaya. Trennya terus melorot.
Sebelumnya Charta Politika menyebut
PPP dan PAN berada di zona bahaya karena di bawah ambang batas aman parliamentary threshold 4 persen. Tercatat, elektabilitas PPP hanya 2,7 persen dan PAN 2 persen.
Kemudian survei SMRC mencatat elektabilitas PPP 3,3 persen dan PAN 1,2 persen. Hasil survei lain, juga memperlihatkan angka yang tidak jauh.
Lembaga Survei Indonesia Deny JA juga menempatkan PPP dan PAN dalam kondisi yang sama, masing-masing elektabilitasnya 2,3 persen dan 2,1 persen. Justru kedua partai itu disodok Perindo yang elektabilitasnya 3 persen.
Tuah coat-tail effect dalam politik Indonesia masih sangkil dan mangkus. Akibat seorang figur, partai bisa kebagian limpahan suara. Tapi anehnya, elite PPP dan PAN menafikan semu itu.
Tiga tokoh yang digadang-gadang menjadi capres 2024 yang memiliki elektabilitas tinggi masing-masing Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Rasyid Baswedan.
Jelas, yang akan menikmati suara Ganjar adalah PDI Perjuangan. Begitu juga Gerindra suaranya ke Prabowo. Nah, suara Anies yang elektabilitas terus naik yang akan menikmati tentu partai yang akan mengusungnya apakah itu Nasdem, Demokrat atau PKS.
Artinya, kalau PPP dan PAN milih Ganjar maka mereka akan gigit jari karena tidak kebagian jatah suara. Justru kalau PPP dan PAN pilih Anies, maka akan mendapat atau kecipratan suara dan mungkin bisa lolos kembali ke Senayan.
Apalagi berdasarkan survei Litbang Kompas, suara PPP dan PAN potensi pergeseran (volatilitasnya) sangat tinggi ke partai lain. Kecenderungan perpindahan suara PPP ke partai lain disebutkan mencapai 61,1 persen dan PAN 59,4 persen.
Menurut Litbang Kompas suara PPP bisa pindah ke PKB, PAN dan PKS. Sedangkan suara PAN pindah ke Demokrat.
Jadi, para elite PPP dan PAN belum terlambat untuk segera taubat dan mendukung Anies dari sekarang sebelum pintu koalisi tertutup atau konstituen kedua partai itu membangkang dari pilihan para elite-nya. Ini sangat berbahaya.
Sayang, partai yang mereka sudah bangun dengan susah payah hanya karena pilihan pragmatis — lantaran karena takut kehilangan jabatan, akses sumberdaya atau khawatir dengan masalah dan tekanan hukum — harus terdepak dari Senayan.
Ingat, partai bukan punya nenek moyang atau anak cucu tetapi milik publik. Pemilih partai bukan keluarga atau saudara tetapi rakyat Indonesia.