Presiden baru Korea Selatan, Yoon Suk Yeol bersumpah akan mengejar penyelesaian negosiasi program nuklir dengan rencana berani, yaitu memajukan perekonomian Korut jika mereka mengambil langkah denuklirisasi.
BARISAN.CO – Senjata nuklir menjadi senjata paling berbahaya di muka bumi. Itu dapat menghancurkan seluruh kota, berpotensi membunuh jutaan orang, dan berdampak jangka panjang bagi lingkungan serta kehidupan generasi mendatang.
Mantan Presiden AS, Ronald Reagan pada puncak Perang Dingin berkata, “Perang nuklir tidak dapat dimenangkan dan tidak boleh diperjuangkan. Satu-satunya nilai di dua negara kami yang memiliki senjata nuklir adalah memastikan mereka tidak akan pernah digunakan. Tetapi kemudian, tidakkah lebih baik untuk menyingkirkannya sepenuhnya?”
Pada Januari tahun lalu, PBB melarang senjata nuklir setelah diratifikasi oleh sekitar 50 negara. Larangan itu masih bersifat simbolis, AS dan kekuatan nuklir lainnya belum menandatangani perjanjian itu.
Hingga saat ini, senjata nuklir baru dua kali digunakan dalam peperangan, yakni engeboman Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945. Namun, telah ada lebih dari 2.000 uji coba nuklir yang dilakukan. Salah satu negara yang melakukan uji coba nuklir ialah Korea Utara. Sejak tahun 2006, setidaknya telah ada enam uji coba nukli di bawah kepimpinan Kim Jong Un.
Badan Intelijen dan Militer AS memperingatkan, Korut sedang bersiap melanjutkan uji coba nuklir bawah tanah pada akhir bulan ini. Pihak AS menyimpulkan, Jong Un sedang membuat persiapan di lokasi uji coba nuklir Punggye-ri. Padahal, di tahun 2018, Korut menyampaikan memutuskan untuk menutup lokasi itu.
Aktivitas personel dan kendaraan di lokasi terlihat melalui citra satelit, namun belum jelas apakah bahan nuklir ditempatkan di salah satu terowongan bawah tanah di lokasi uji coba. Uji coba nuklir terakhir Korut terjadi pada September 2017, yang diklaim sebagai bom hidrogen. Situs Punggye-ri, satu-satunya situs uji coba nuklir yang diketahui di negara tersebut.
Mengutip Associated Press, Presiden baru Korea Selatan, Yoon Suk Yeol bersumpah akan mengejar penyelesaian negosiasi program nuklir dengan rencana berani, yaitu memajukan perekonomian Korut jika mereka denuklirisasi.
Korut sendiri telah menolak tawaran dari beberapa pendahulu Suk Yeol dengan insentif serupa.
“Sementara program senjata Korut merupakan ancaman, tidak hanya bagi keamanan kami, tetapi juga bagi Asia Timur, pintu dialog akan tetap terbuka sehingga kami dapat menyelesaikan ancaman ini secara damai,” kata Suk Yeol.
Suk Youl menambahkan, jika Korut benar-benar memulai proses denuklirisasi, Korsel siap bekerja dengan komunitas internasional untuk menyajikan rencana berani yang akan memperkuat ekonomi Korut dan meningkatkan kualitas hidupnya.
Analisis Institut Sejong, Cheong Seong Chang menunjukkan rasa pesimisnya.
“Kecil kemungkinan Korut akan menerima rencana dukungan bersyarat Suk Yeol karena Korut percaya Korsel harus terlebih dahulu meninggalkan kebijakan permusuhannya. Yang berarti, berhenti latihan militer reguler dengan AS,” kata Seong Chang.
Suk Yeol dari Partai Konservatif Korsel menang tipis dalam pemilihan presiden melawan Lee Jae Myung yang berasal dari Partai Liberal Korsel. Suk Yeol memperoleh suara 48,6 persen sedangkan rivalnya, 47,8 persen. Kemenangan tipis itu karena publik merasa kecewa dengan kebijakan ekonomi mantan Presiden sebelumnya, Moon Jae In yang juga berasal dari Partai Liberal.
Kebijakan ekonomi Jae In dianggap penyebab harga rumah dan utang pribadi melambung di luar kendali serta gagal menciptakan lapangan kerja yang memadai. Dalam kampanyenya, Suk Yeol dikritik karena sebagian pesannya berfokus pada laki-laki muda yang kesulitan mendapatkan pekerjaan dan berprospek suram saat menikah dan menjadi orang tua. Suk Yeol dianggap mengabaikan penderitaan kaum perempuan. [rif]