Itulah. Betapa tak sederhana mengayuh biduk keluarga. Betapa, sebagai orangtua, mesti bersiap menjadi inspirator terlebih dahulu sebelum menuntut ketaatan anak-anak. Menjadi orangtua, mesti memandang anak sebagai titipan Tuhan dan umat manusia sekaligus. Anak merupakan aset Tuhan dan (sekaligus) aset masyarakat. Anak adalah hamba Tuhan, sekaligus calon duta Tuhan.
Sehingga, mendidik anak sama sekali bukan untuk kepentingan kita. Bukan demi kapitalisasi “supaya kelak ketika kita tua gantian dirawat anak.” Bukan begitu!
Mandek semata inspirator, jelas tak mencukupi. Seusai menggarap diri, setelah menekuni atmosfer inspirasi, kita berlanjut ke prinsip kedua, education is a discipline. Pendidikan adalah formasi kebiasaan-kebiasaan. Ada pembiasaan, juga simulasi, terjadwal. Sehingga orangtua-anak terlibat dalam kerjasama: menyeharikan kebiasaan-kebiasaan baik. Mempraktikkan hal baik dengan konsisten.
Kebiasaan
Charlotte Mason merekomendasikan dua kebiasaan yang wajib dilatihkan: kebiasaan memperhatikan dan kebiasaan taat. Kemudian disusul kebiasaan-kebiasaan lain: kejujuran, mengerjakan sesuatu secara sempurna (tidak setengah-setengah, apalagi asal jalan), pengendalian diri, dan seterusnya.
Ketiga, education is a life. Prinsip ini menandaskan bahwa anak terlahir sebagai pribadi utuh. Pribadi yang tak hanya kebutuhan raga yang mesti kita perhatikan, tetapi juga kebutuhan jiwa.
Kita memang harus memenuhi kebutuhan raga anak. Karena itu yang menopang kelangsungan hidupnya. Namun, persis yang ditekankan Charlotte, itu tak akan memadai tanpa menengok kebutuhan jiwanya. Spiritualnya juga butuh asupan untuk bertumbuh. Bahkan dalam tradisi tasawuf, pemenuhan gizi spiritual ini merupakan pokok ajaran.
Apa itu makananan jiwa? Apa asupan spiritual? Ide atau gagasan besar itulah makanan spiritual. Dengan gagasan besar, anak akan siap terjun ke kancah kehidupan sebagai pribadi yang berkarakter: cerdas sekaligus bermoral. Dan pendidikan seyogianya bisa menghidangkan itu. Pendidikan, selain sebagai formasi kebiasaan-kebiasaan baik, adalah sebagai perjumpaan gagasan-gagasan besar. Gagasan yang terhebat, termulia, terbaik.
Dari mana gagasan atau ide itu kita peroleh? Jelas bisa dari mana saja, apa saja, dan dari siapa saja. Namun demi kebutuhan praktis, bisa kita peroleh dari buku-buku, baik fiksi maupun nonfiksi yang bercita rasa sastrawi dari para penulis yang berdedikasi tinggi. Charlotte menyebutnya living books.
Walhasil, menjalani pendidikan sama artinya juga dengan kegairahan untuk mengoleksi buku-buku berkualitas. Buku-buku inspiratif. Buku yang menggerakkan anak untuk mengingat dan merenung. Adakah? Jelas ada, meski tak sebanyak buku non-living books.