Scroll untuk baca artikel
Kolom

Relasi dan Politikus

Redaksi
×

Relasi dan Politikus

Sebarkan artikel ini

DULU ada tiga orang besar pernah hidup di negeri ini. Mereka berbeda prinsip. Bahkan berbeda ideologi. Mohammad Natsir (Pemimpin Partai Masyumi), Ignatius J. Kasimo (Pemimpin Partai Katolik) dan Dipa Nusantara Aidit (Ketua Comite Central PKI). Ketiga tokoh terkemuka pada era pra-Orde Baru itu dikenal jago debat di sidang-sidang Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Konstituante. Terkadang saling menyerang dengan tajam bak pisau silet. Secara politik, sikap ketiga partai ini juga kerap berbeda, bahkan bertabrakan.

Akan tetapi lihatlah sikap mereka di luar ruangan sidang. Inilah rujukan melegenda bagaimana seharusnya memupuk kedewasaan dalam berpolitik. Bagaimana relasi politik berbeda dengan relasi pribadi. Mereka bertiga benar-benar pribadi yang mulia.

Walaupun Aidit, Kasimo dan Natsir secara politik bisa dibilang bermusuhan, namun di luar urusan politik mereka tetap bisa menjalin tali silaturahmi. Tiga tokoh itu dulu diketahui sering menjadi teman ngerumpi di kafe DPR, sembari minum kopi bersama. Ini biasa mereka lakukan pada waktu senggang, di sela-sela agenda persidangan DPR yang padat.

Sidang panas di forum DPR dan majelis konstituante memang membuat mereka dipertemukan sebagai musuh bebuyutan. Keras, penuh caci maki dan provokatif.

Namun di luar perdebatan politik, tidak demikian halnya. Bahkan Natsir sebagai Perdana Menteri pernah berboncengan sepeda dengan Kasimo atau Aidit usai sidang di Gedung Parlemen. Mereka juga saling kenal keluarga masing-masing.

Apa yang dilakukan ketiga tokoh besar bangsa ini mencerminkan kedewasaan dalam berpolitik. Ketiganya dapat mempraktekkan etika politik yang tinggi atau beradab: yakni bahwa perbedaan sikap atau pilihan politik mestinya tidak harus menjadikan para pelakunya bermusuhan dalam segala bidang kehidupan.

Teladan itulah yang harusnya dapat kita petik dari mereka. Dan sayangnya tidak lagi bisa kita saksikan di hari-hari ini. Tokoh politik yang satu saling tak bertegur sapa dengan seterunya. Bahkan tak malu saling hujat di muka publik.

Sesungguhnya, jika kita sudah mengamini bahwa demokrasi merupakan tatanan final yang harus dijalani oleh bangsa dan negara kita, maka teladan Aidit, Kasimo dan Natsir tadi lebih kental letak pentingnya. Karena demokrasi, suka atau tidak, selalu meniscayakan adanya perbedaan pilihan politik atau ideologi.

Tanpa kedewasaan dalam menyikapi perbedaan sikap atau pilihan politik, maka demokrasi dapat berujung pada kekerasan, sesuatu yang sama-sama harus kita cegah untuk terjadi di bumi Indonesia. [rif]