Buku ini mampu menghipnotis pembacanya untuk baca sampai akhir. Apalagi ada ulasan mengenai The Social Dilemma yang sempat viral beberapa waktu lalu.
BARISAN.CO – Saya pernah mendapat tugas mengomentari sebuah buku. Tentu saja harus membacanya lebih dulu. Judulnya Dudung Abdurachman (DAR) Membongkar Operasi Psikologi Gerakan Intoleransi, 211 halaman yang ditulis Raylis Sumitra, mantan wartawan Jawa Pos Group.
Pada awalnya saya pikir akan membosankan, karena buku ini membicarakan sosok Dudung, bukan Nicholas Saputra, aktor Indonesia yang digandrungi cewek-cewek milenial, salah satunya adalah saya. Ternyata setelah saya baca dari lembar satu ke lembar lainnya, buku ini membahas tentang praktik-praktik politik dunia, sejarah TNI, media sosial dan budaya disrupsi komunikasi. Sangat menarik. Bagaimana India menghadapi wabah Corona pun diceritakan di sini, yang katanya jauh lebih mengerikan daripada Indonesia.
Tentu saja penulis tidak membahas topik-topik itu sampai dalam, karena fokus dari buku ini adalah Dudung, sosok di balik pencopotan baliho Habib Rizieq yang terjadi pada November 2020. Kenapa penulis tertarik membahas Dudung? Kenapa bukan Nikita Mirzani, artis kontroversial yang juga menurunkan baliho sendiri dengan menaiki motor moge?
Saya akan ulas di sini. Tapi sebelumnya saya ingin mengomentari penulisan buku ini yang banyak typo-nya. Bahkan beberapa paragraf saya temukan lebih dari satu kali. Contoh bahasan mengenai Christopher Wylie di halaman 76, saya temukan kembali di halaman 103. Kalimatnya sama persis. Penulis seperti copy paste. Seolah-olah buku ini dicetak buru-buru, mungkin karena takut basi. Penurunan baliho terjadi pada November 2020, buku ini dicetak 2021 dan baru diluncurkan Sabtu (29/1/2022) lalu. Bahkan dalam sebuah bab, Raylis menulis soal harapannya akan kehadiran vaksin. Padahal vaksin sudah ada. Program vaksinasi saja sudah berjalan beberapa tahap saat ini.
Meski begitu, buku ini tetap saja mampu menghipnotis pembacanya untuk baca sampai akhir. Apalagi ada ulasan mengenai The Social Dilemma yang sempat viral beberapa waktu lalu. The Social Dilemma adalah film dokumenter keluaran Netflix yang menguak sisi gelap dari penggunaan media sosial.
Bukan tanpa alasan, mengapa penulis membahas film tersebut pada bab epilog. Dalam The Social Dilemma dijelaskan media sosial telah dijadikan alat untuk menggiring orang-orang yang sepandangan terperangkap dalam ruang yang sama, antara lain ruang memercayai kabar bohong. Menurut Raylis, hal itu disebabkan efek ‘gelembung filter’ (filter bubble) yang membuat pesan – pesan manipulatif yang dilontarkan semakin mengurung publik yang berpikiran sama. “Fenomena ini kemudian disebut juga sebagai “algoritma mobokrasi” (mobocratic algorithms). Inilah algoritma yang memberi kekuasaan pada mob atau kerumunan,” tulis Raylis pada bab tersebut.
Sama halnya dengan Front Pembela Islam (FPI). Sejak awal didirikan pada 17 Agustus 1998, FPI telah menyita perhatian. FPI melakukan aksi-aksi kekerasan yang mereka sebut-sebut sebagai jihad. FPI yang dibentuk oleh sejumlah habib, ulama dan aktivis muslim berhasil mengajak masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim untuk menjadi bagian dari organisasi massa (ormas) ini.
Ditunjuknya Habib Rizieq Shihab sebagai imam besar adalah langkah tepat bagi FPI untuk mencapai tujuannya. Habib sendiri merupakan keturunan atau memiliki darah Nabi Muhammad SAW, sehingga banyak masyarakat yang kemudian ‘mendewakannya’. FPI pun berkembang menjadi ormas islam yang dipandang memiliki kekuatan besar. Tindakan brutal dan intoleren yang dilakukan FPI lama kelamaan meresahkan masyarakat, tapi tak ada satupun yang berani melawan. Bahkan pemerintah dan aparat penegak hukum kerap membiarkannya.