Scroll untuk baca artikel
Opini

Rezim Jakarta, Antitesis Anies?

Redaksi
×

Rezim Jakarta, Antitesis Anies?

Sebarkan artikel ini

BEREDAR foto di kelompok perbincangan (WA Group), marka pembatas jalur sepeda di kawasan Jenderal Sudirman jumpalitan, dihancurkan dan berantakan. Dalam teks pengantarnya disebutkan marka tersebut dirusak orang tak dikenal.

Dalam gambar itu sangat jelas, marka tersebut rusak bukan karena tertabrak atau diseruduk mobil karena sebagian marka juga ada yang sengaja disingkirkan ke atas trotoar dan masih utuh.

Bukan masalah siapa yang melakukannya. Karena kalau mencari pelakunya sangat gampang. Di jalur Sudirman aktivitas masyarakat bisa dilihat dari CCTV yang dipasang di setiap sudut.

Namun, saya menduga perusakan ini sebagai eskalasi kebencian kepada kebijakan Anies yang memberikan keistimewaan kepada pesepeda di Jakarta. Dari sejak awal kebijakan Anies untuk mendukung pemerintah pusat mencapai zero emisi pada 2060 ini selalu mendapat resistensi dari sekelompok masyarakat dan juga politikus di Jakarta.

Kebijakan Anies untuk mendukung Jakarta yang ramah lingkungan selain terus menggenjot transportasi publik juga memberikan koridor khusus bagi pesepeda. Dampaknya, Jalan Sudirman semakin sempit dan justru pedestrian pejalan kaki sangat lebar dan nyaman. Kondisi ini sangat tidak disukai pengendara mobil pribadi.

Namun, upaya Anies untuk memberikan afirmasi kepada pesepeda tidak dilanjutkan oleh penerusnya, Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono. Gubernur yang ditunjuk langsung Presiden Jokowi.

Memang tidak langsung Heru yang memerintahkan penghentian pembangunan jalur sepeda di Jakarta. Tapi Dishub DKI Jakarta sebelum menghapus anggaran Rp38 miliar dalam APBD DKI Jakarta 2023 untuk melanjutkan membangun jalur sepeda pasti konsultasi dulu dengan gubernur.

Dan anggota DPRD yang paling kencang menolak, seperti biasa yang kerap mengkritik Anies. Anggota DPRD dari PDIP cum seorang dokter bernam Gilbert Simanjuntak menyebut jalur sepeda hanya menghambur-hamburkan duit rakyat dan tidak berguna.

Gilbert adalah model anggota DPRD yang nir pemahaman lingkungan. Dia berpikir, jalur sepeda itu langsung penuh dan seperti pasar rakyat. Jalur sepeda itu perlu sosialisasi dan proses. Masyarakat baru berani dan tertarik naik sepeda bila fasilitasnya mendukung.

Target emisi yang menjadi kesepakatan Indonesia dan dunia juga melalui proses seperti lewat penggunaan sepeda, energi ramah lingkungan dan transportasi publik. Dunia sepakat zero emisi pada 2050. Nah, Indonesia masih menawar dan berjanji baru bisa tercapai pada 2060. Kalau politikus seperti itu, bagaimana Indonesia dapat memenuhi janjinya pada 2060?

Sama seperti Gilbert, Gubernur Heru juga dinilai tidak memiliki wawasan atau paradigma lingkungan dan iklim dalam pembangunan Jakarta. Padahal perubahan iklim itu sejak lama menjadi isu dunia dan menjadi isu utama dalam KTT G20 di Bali.

Ironisnya Dishub DKI Jakarta malah merencanakan untuk menyalurkan dana hibah Rp485 miliar untuk Polda Metro Jaya dan Kodam Jaya. Padahal dua lembaga itu sudah memiliki dana dari pusat. Sangat mengherankan. Bagaimana zero emisi bisa tercapai kalau paradigma pejabat seperti ini.

Kabarnya, Gubernur Heru juga datang dan menghadiri KTT G20 di Bali. Semoga setelah pulang dari sana ada perubahan paradigma dan mengerti tentang pentingnya Jakarta bebas dari emisi karbon.

Para pegiat sepeda juga berencana untuk menemui Gubernur Heru. Mereka akan menanyakan langsung terkait kebijakannya yang menihilkan pembangunan lanjutan jalur sepeda. Sekelompok lainnya terus menggalang dukungan lewat Change.org, agar Pemprov DKI Jakarta tidak menghentikan pembangunan jalur sepeda yang digagas Anies Baswedan.