Scroll untuk baca artikel
Blog

Ridwan Saidi

Redaksi
×

Ridwan Saidi

Sebarkan artikel ini

DALAM satu podcast, saat ditanya, sebaiknya disebut sejarawan atau budayawan. Ridwan Saidi menjawab, bukan sekadar sejarawan, sebab budayawan lebih luas artinya.

Jadi, mari kita sebut Ridwan Saidi budayawan. Bukan juga budayawan Betawi, tapi Budayawan nasional.

Seorang aktivis Angkatan 66, yang namanya berkibar dalam pembicaraan politik kebudayaan.

Dalam satu webinar bersama Ahmad Sobari terjadi perdebatan cukup sengit mengenai sejarah nasional. Sobari setuju pendapat Saidi, bahwa kakek moyang kita dalam sejarah tidak ada manusia Jawa.

Raja-raja kita adalah keturunan tiga bangsa penakluk; India, China, Mongol. Sobari menyanggah, barangkali Ken Arok satu-satunya raja dari manusia Jawa. Tapi Saidi menggeleng, Ken Arok pun bukan manusia Jawa.

Akan menarik bila Saidi hidup sejaman dengan penyair dan sejarawan Muhammad Jamin. Keduanya kontroversial di kubu masing-masing. Kubu nasionalisme Jamin dan kubu budaya an-sich Saidi.

Misalnya, kala Jamin mengangkat Majapahit dan kebesaran Gajah Mada demi kebangkitan nasionalisme. Maka Saidi bilang, Majapahit itu hanya kerajaan kecil saja. 

Lalu kala Gajah Mada bersumpah palapa, mau menyatukan Nusantara. Nusantara yang mana, kilah Saidi. Nusantara judul puisi Jamin, atau benarkah kala itu Mada menyebut kata Nusantara yang bagi kita sekarang dari Sabang sampai Merauke.

Banyak sisi kontroversi Saidi, yang membuka wacana budaya dan sejarah politik Indonesia.

Mungkin dia pun setuju jika saya katakan, bagaimana kita mesti ingat Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, jika pada kenyataannya sejarah kita telah mencatat darah.

Tarohlah sejak Ken Arok hingga peristiwa politik berdarah 1965, jasmerah kita berlumur darah.

Pun barangkali Saidi setuju kalau saya katakan Indonesia merdeka secara nilai pada Soempah Pemoeda 28 Oktober 1928 dengan puisi Jamin yang terkenal itu.

Kemudian secara institusi Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, dengan teks proklamasi penuh coretan atas nama Soekarno-Hatta.

Dan atas nama siapakah Ridwan Saidi. Dia budayawan garis keras dalam sikap politik. Sayang dia bersuara tunggal, pikiran dan konsep politik kebudayaannya tidak menjadi anutan generasi mana pun. 

Dia seorang ilmuwan dengan segudang data. Kalau dalam seni sastra, Remy Sylado, dalam sejarah dan budaya Ridwan Saidi. Keduanya telah tiada, dan Indonesia sangat kehilangan.

Selamat jalan Babe Ridwan Saidi, salam buat Bang Remy Sylado.***