Indonesia harus mendorong terbentuknya pertemuan luar biasa OKI dan D-8 untuk mengecam penggunaan kekuatan militer terhadap negara Muslim berdaulat seperti Iran, serta mendesak solusi damai dan diplomatik melalui dialog antarnegara Muslim.
Kritik terhadap serangan sepihak Amerika Serikat dan Israel tidak berarti mendukung penuh kebijakan dalam negeri Iran, tetapi menunjukkan keberpihakan terhadap prinsip kedaulatan dan keadilan internasional.
Ketika kekuatan adidaya mulai menggunakan kekuatan militer sebagai alat negosiasi, dunia Islam tidak boleh terpecah. Negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Bahrain harus berhenti bersikap ambigu dan mulai menunjukkan empati kepada bangsa-bangsa Muslim yang terancam kedaulatannya.
Indonesia memiliki warisan panjang dalam diplomasi damai. Dari peranannya dalam menyelesaikan konflik Kamboja hingga perdamaian Moro di Filipina Selatan, Indonesia dikenal sebagai juru damai yang kredibel.
Inilah saat yang tepat untuk kembali memainkan peran tersebut sebagai penengah, sebagai suara hati nurani global. Diam dalam situasi seperti ini bukanlah bentuk netralitas, melainkan kegagalan menjalankan amanah sebagai bangsa yang menjunjung perdamaian dan keadilan.
Dengan risiko eskalasi militer dan ancaman penutupan Selat Hormuz, perang antara Iran dan Israel (yang didukung Amerika) bukan sekadar konflik regional, tetapi juga memiliki implikasi sistemik terhadap ekonomi dan stabilitas dunia.
Bagi Indonesia, dampaknya nyata: dari potensi inflasi, pelemahan rupiah, pembengkakan subsidi, hingga terganggunya ketahanan energi nasional.
Maka, selain mempersiapkan respons ekonomi dan fiskal yang adaptif, Indonesia juga harus memainkan peran aktif di panggung internasional bukan hanya untuk meredam krisis, tetapi juga untuk menjaga kepentingan nasionalnya sendiri. []