ADA apa ini, batinku, mendengar deru-deru mobil memasuki jalan perumahan. Saat itu aku tengah melihat berita televisi, tentang penembakan polisi oleh polisi di rumah dinas seorang Jendral polisi.
Dari lika-liku penyelidikan dan penyidikan yang memakan waktu satu bulan, pada gilirannya semalam Kapolri mengumumkan kronologi kejadian.
Bahwa, menurut eksekutor yang dinyatakan sebagai tersangka kemudian menjadi justice coraborator, ia menembak atas perintah sang Jendral, dibantu dua personil lain.
Itu kejadian di perumahan kepolisian, jauh dari wilayahku.
Aku longok dari jendela lalu aku buka pintu, itu mobil-mobil baracuda, disertai banyak anggota polisi bersenjata api laras panjang. Lalu kesibukan beberapa orang berseragam atau sipil, mendatangi satu rumah.
Rumah-rumah lain tertutup pintu, hanya aku yang bergegas masuk. Aku kenakan baju batik dan kopiah, disambut pertanyaan isteriku, “ada apa,
Pak.” Aku menggeleng, meminta isteriku diam di rumah, sambil aku bergegas diburu pertanyaan isteriku kembali, “di rumah siapa?” Aku tetap menggeleng, menutup pintu dan berlalu ke luar pagar rumah.
Ingatanku terlempar ke masa kanak-kanakku di kampung halaman.
* * *
MASA kecilku saat terjadi pemberontakan G 30 S, usaha pengambilalihan kekuasaan yang gagal itu. Tujuh jendral didapati jasadnya di lubang buaya, dengan tuduhan perbuatan biadab itu dilakukan oleh PKI.
Kemudian sepekan sesudahnya, dilakukan operasi militer atas perintah Jendral Soeharto. Disusul penangkapan terhadap para anggota Partai Komunis Indonesia.
Siang malam masyarakat diliputi rasa was-was dan ketercekaman. Di malam hari listrik di seantero kota dimatikan.
Aku kecil menyaksikan melalui gerumbul pagar, truk-truk dan tentara berseragam dan bersenjata lengkap. Di pagi hari, aku lihat seorang tetanggaku digelandang ke truk disertai ratapan sang ibu, “anak saya belum sarapan.”
Seiring waktu hingga aku dewasa pikiranku terus berkecamuk, bukan pertanyaan pemberontakan apa atau oleh siapa. Melainkan mengapa dan bagaimana peristiwa berdarah yang disebut sebagai peristiwa politik itu terjadi.
Betapa, akibat yang ditimbulkannya adalah pertarungan fisik, dan rakyat juga yang menjadi korban. Tidak hanya kehilangan sanak-saudara, tapi juga trauma berkepanjangan yang ditimbulkannya.
Aroma peristiwa politik berdarah tercium oleh masyarakat, selama puluhan tahun. Kemudian, benarkah itu bisa mereda oleh sang waktu.
Betapa silang sengkarut kekuasaan makin mengeras. Lalu bagaimana akibatnya bagi rakyat, jika aroma pertarungan politik kekuasaan terus terendus. O, kehidupan pun makin mengeras, oleh politik yang semata berujung pada kekuasaan.