Scroll untuk baca artikel
Blog

Rumah Identitas

Redaksi
×

Rumah Identitas

Sebarkan artikel ini

* * *

SESUNGGUHNYALAH negeri ini oleh para pendahulu ditahbiskan sebagai negara berkonsep politik kebudayaan, dengan dasar Pancasila. Tapi setelah peristiwa politik berdarah 1965 itu, menginjak orde baru Soeharto sejak 1966, politik kebudayaan diubah menjadi politik ekonomi.

Sejak itu segalanya pun berubah. Hingga kini, selazimnya politik ekonomi di negara mana pun, berujung pada sistem kapitalis-liberalis.

Lihatlah pembangunan fisik sejak orde baru hingga reformasi, pembangunan infra struktur yang terus digencarkan. Semua dikeraskan dengan payung hukum, dan dikatakan: hukum sebagai panglima

Panglima? Aku jadi ingat PKI yang meneriakkan: politik sebagai panglima.

Aku terus berjalan perlahan, penuh tandatanya, apa yang terjadi di lingkungan wilayahku. Dicekam kenangan traumatis di kala itu, dan aku terhenti saat dua orang anggota bersenjata menahan langkahku, “bapak mau ke mana, dari mana?”

“Saya orang sini,” sahutku.
“Kembali saja, Pak.”
“Tapi saya mau melihat.”
“Melihat apa, masuk rumah saja, kami petugas.”
Tegas aku sahut, “saya juga petugas.”
“Petugas apa?”
“Saya ketua RT…”

* * *

OLEH atasan mereka, aku pun diperkenankan masuk ke rumah itu. Rumah yang sedang digeledah oleh aparat. Di antara para personil aku terpana, melihat di dinding dalam rumah, terpasang foto Jendral yang menjadi tersangka utama pembunuhan berencana dan berkelompok itu.

Juga aku lihat foto korban, Briptu J.

Aku jadi ingat cerita isteriku sebagai Ketua PKK, bahwa isteriku pernah bertemu J di rumah ini.

Keluar dari rumah sang Jendral, aku pun terhenyak dihadang oleh para wartawan yang mengajukan pertanyaan.

“Apakah bapak tahu ini rumah siapa?”
“Ya baru tahu sekarang ini.”
“Kok bisa begitu, Pak?”
“Bagaimana lagi, yang punya rumah tidak pernah melapor ke saya selaku Ketua RT.”

Aku menahan diri dalam menjawab setiap pertanyaan. Meski pun ada yang mendesak-desak ingin aku katakan. Bahwa, kalau ada istilah politik identitas, inilah senyatanya rumah identitas. Rumah kekuasaan.

Bagaimana kekuasaan pun berlangsung hingga tingkat RT. Bahkan RT yang ditahbiskan sebagai lembaga pemerintah terkecil, yang langsung berhadapan dengan warga masyarakat, direndahkan dan disepelekan oleh pemegang kekuasaan.

Ya, betapa dalam peristiwa polisi tembak ini, seorang Ketua RT dianggap tidak ada.

Baiklah, batinku: kalau aku dianggap tidak ada, silakan terus sibuk dengan kekuasaan, cukup sekian…

Aku pun berpamit pulang untuk bersujud, sambil bergumam: akan bagaimana jadinya kalau politik identitas terus mengejar kekuasaan tanpa etika. Bahkan, tiada batas…***