Pancasila itu adalah cakrawala dan akar budaya dari semua kemajemukan bangsa. Bukan hanya sebuah slogan untuk mempresentasikan jargon politik.
Membangun sikap dalam menumbuh-kembangkan peran budaya, bukanlah persoalan yang mudah. Permasalahannya, karena ruang kreatif budaya terasa makin sempit, meskipun makin pesatnya pertumbuhan literasi bahasa. Di satu sisi, kemajuan iptek sering dijadikan solusi dari segala kebuntuan kreasi.
Sayangnya, ini menjadi lahan basah untuk tumbuhnya isu-isu hoaks yang membunuh karakter budaya. Salah kaprah menjadi sebuah keberanian dari ketakutan kita untuk meletakkan nilai-nilai fundamental budaya.
Berbagai cara untuk mengekspresikan kritik membangun, dianggap sebagai ancaman atau provokasi. Yang kadang menjadi buah simalakama, kreativitas ini kadang dihubung-hubungkan dengan sebuah gerakan yang berbau radikalisme dan ekstremisme. Inilah kekacauan dari sikap cemas yang menjadi virus dalam hakiki budaya. Dampak terbesar menjadi kenyataan pahit dalam mematikan karakter manusia.
Kemana kita harus pergi? Lisan bukanlah lagi seperti corong untuk meluruskan kemerosotan nilai demokrasi. Puisi bergerak bebas dan liar, hanya untuk memuaskan mata.
Bukan untuk memajukan seni yang menjadi kaki-tangan budaya. Sesungguhnya kreativitas karya tidak harus berharap apresiasi, harus tumbuh secara alami. Karena budaya ruang hidupnya selalu dinamis.
Ruang hidup budaya adalah berkembangnya kontemplasi pemikiran manusia menuju kesempurnaan. Pemikiran sebagai entitas (wujud) untuk selalu beranjak dari ketidakmampuan, ketidakpastian, ketidaksempurnaan akal manusia menuju hakiki kebenaran dan keadilan. Lalu, bagaimana solusi terbaik dari segala kebuntuan ini?
Salah satu cara, apakah makna –Holopis Kuntul Baris- sudah tidak sesuai lagi dengan perubahan masa? Sedikit mengutip gagasan yang pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Koentjaraningrat (antropolog), bahwa budaya memiliki unsur-unsur berupa gagasan dan rasa, yang kemudian menghasilkan sebuah karya.
Disini tampak, bahwa unsur budaya adalah sebuah pola bersama dari perilaku dan interaksi yang menjadi kontruksi sosial. Sebuah ruang kreatif diperlukan untuk membangun kemampuan manusia dalam menjaga tradisi budaya. Maka sangat penting, menghidupkan kembali aspek budaya dalam kehidupan manusia, tidak dipandang dalam pengertian salah kaprah untuk selalu membenarkan peradaban dengan logika samar. [Luk]