Scroll untuk baca artikel
sosok

Lukni Maulana: Merawat Tradisi, Membangun Literasi

Redaksi
×

Lukni Maulana: Merawat Tradisi, Membangun Literasi

Sebarkan artikel ini
lukni literasi
Lukni Maulana

Dari pesantren ke panggung budaya dan ruang digital, Lukni menggabungkan suluk dan piksel untuk membangun peradaban.

BARISAN.CO – Di sebuah sudut Semarang, seorang pria bernama Lukni Maulana menapaki jalan sunyi yang tidak banyak dipilih: memadukan tradisi pesantren dengan kegelisahan zaman digital.

Ia bukan sekadar penulis atau aktivis budaya. Ia adalah pengasuh, penggerak, sekaligus penjaga penjaga nilai, narasi, dan akal sehat masyarakat digital masa kini.

Dasar-dasar kehidupan ditempa oleh orang tuanya: ngaji kitab, disiplinitas, dan hidup dalam kesederhanaan. Perjalanan intelektual dan spiritual Lukni dimulai sejak usia belia, ketika ia mondok di Pondok Pesantren Mamba’ul Hisan, Sidayu, Gresik.

Semangat mencari ilmu belum selesai. Ia lalu hijrah ke Tambakberas, Jombang, belajar di Pondok Pesantren Bahrul Ulum, tepatnya di Komplek Al-Hikmah di bawah asuhan KH. Sulton Abdul Hadi. Di sela nyantri, ia menyelesaikan pendidikan formal di MAN Tambakberas.

Dari Tambakberas, langkah Lukni berlanjut ke Pondok Pesantren Luhur Dondong, tempat ia mendalami ilmu hadis, khususnya Sunan Tirmidzi, langsung di bawah bimbingan KH. Makmun, murid dari Sayyid Muhammad Al-Maliki Makkah.

Kegemarannya menulis dan berdiskusi membawanya ke IAIN Walisongo Semarang, kini UIN Walisongo. Di kampus ini, ia tidak hanya menjadi mahasiswa, tetapi juga aktivis seni dan jurnalistik.

Ia dikenal sebagai bagian dari Teater BETA dan pernah memimpin Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) Cabang Semarang.

Sejak itu, nama Lukni kian dikenal di kancah budaya dan intelektual Jawa Tengah. Ia dipercaya menjadi Ketua Lesbumi PWNU Jawa Tengah pada periode 2018–2023. Di tengah gempuran teknologi, ia tetap menjaga warisan tradisi sambil merambah dunia baru: digitalisasi nilai.

Ia pernah menjabat sebagai Koordinator Media Ekonomi di barisandata.co, dan kini terlibat aktif di Barisan Nusantara sebagai Ketua Bidang Kajian dan Riset.

Tak berhenti di dunia ide, Lukni juga pernah berkecimpung dalam filantropi lewat Badan Wakaf Nusantara, mengampanyekan gerakan Berani Berbagi.

Sebagai penulis, Lukni telah menerbitkan sejumlah buku yang memadukan puisi, tafsir sosial, dan refleksi spiritual, seperti: (1) Model Pembelajaran Mengelola Pelatihan Partisipatif (Kasatmata Media Kita/2009), (2) Risalah Demokrasi: Antologi 99 Puisi, Cinta dan Gerakan (Oase Qalbu/2013), (3) Cinta, Penderitaan dan Ketaatan (Yabawande/2015), dan (4) Sang Morvious (Lembah Manah/2015).

Kini, ia membagi waktunya antara komunitas Santri Bajingan, acara Suluk Senen Pahingan, dan ngaji di di Pondok Pesantren Al-Itqon Bugen, sembari menjadi pengasuh di Suluh Panembahan.

Namun yang paling menonjol dari kiprah terbarunya adalah perannya sebagai seorang Digital Literacy Advocate. Di tengah derasnya informasi yang belum tentu berisi kebenaran, Lukni merasa literasi digital bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan.