Oleh: Adib Achmadi
SAYA beruntung sempat beberapa bulan tinggal di sebuah desa pinggiran bersama seorang ekonom pembelajar. Persisnya di Padepokan Kalisoga. Desa Slatri, Kecamatan Larangan Kabupaten Brebes. Suatu tempat asri di areal persawahan yang dikelilingi bangunan berarsitek Jawa kuno: joglo dan limasan.
Di tempat ini pula biasa kumpul warga dengan bermacam latar belakang mulai dari petani, buruh, tukang, kuli bangunan, satpam, OB, guru, dan lain-lain.
Nama ekonom itu Awalil Rizky. Bagi mereka peminat dan pemerhati ekonomi Indonesia, nama Awalil Rizky tak asing lagi.
Apalagi mereka yang aktif di medsos, khususnya Twitter, nama ekonom satu ini hampir tiap hari muncul dengan tulisan yang sarat grafik dan data.
Ekonom pembelajar adalah penamaan dari dirinya. Mungkin untuk mengatakan sebagai ekonom yang tak pernah berhenti belajar.
Saya berani jamin tak ada ekonom seproduktif dia dalam menuliskan pemikiran ekonomi dengan basis data yang kuat dan sahih. Tiap hari dia menulis sambil berselancar di lautan data. Hampir tiap hari selalu saja ada bahan untuk ditulis. Bahkan dia sering menulis tidak saja tiap hari, tapi sehari dua kali. Itupun kalau mau bisa saja lebih dari itu.
Dan saya yakin tak banyak orang, ekonom sekalipun, yang mampu bertahan seperti dia, menelusuri ribuan data mentah dari berbagai sumber dan kemudian mencermati bagian perbagian secara detail. Boleh percaya boleh tidak, itu yang dilakukannya tiap hari.
Saya bilang begitu, kalau tidak boleh dibilang bersaksi, karena hampir tiap malam saya menghabiskan waktu sama beliau. Begitu berhadapan dengan laptopnya, serasa tak waktu yang menghentikan kecuali kantuk tak tertahan. Jeda-jeda kecil biasanya ketika Ia menemukan ide ranum dari temuan data. Semacam teriakan ‘eureka’ ketika seseorang menemukan sesuatu.
Dari situ biasanya saya jadi ‘korban pelampiasan’. Diceritakanlah pada saya apa yang barusan ditemukan dengan penuh antusias dan tak terlalu peduli saya paham atau tidak. Setelah itu dia kembali ke laptop. Ketika saya bertanya mengapa bersusah-susah pada hal detail, ia menjawab singkat, banyak masalah terlihat di detail. Setan terlihat di detail.
Begitu hampir tiap malam selama beberapa bulan bersamanya. Saya sendiri tak setahan dia. Subuh titik batas akhir saya mengakhir aktivitas saya sendiri. Sementara dia bisa berlanjut menikmati perjalanan menulis dan berselancar yang terlihat begitu mengasyikan.
Manusia macam Mas Awalil, begitu saya memanggilnya, orang unik yang menurut saya berbeda dari kebanyakan. Jika orang lihat data dan angka, apalagi jumlahnya ratusan atau ribuan halaman, mungkin kebanyakan orang tak akan bertahan lama.
Saya sendiri merasa mules ketika dia mulai ‘pamer’ paparan yang hanya angka-angka (biasanya dalam bentuk excel). Tapi Mas Awalil tidak. Dia menelusuri angka seperti anak kecil bermain dan ketagihan game.
Selalu tampak ada kenikmatan ketika ia mulai berselancar dalam data. Layaknya game, mungkin setiap level yang dimenangkan selalu menantang untuk naik level berikutnya. Itu yang menurut saya dia selalu menemukan bahan tulisan yang tak ada habisnya. Mungkin cara kerja gila itu yang kawan-kawan memanggilnya profesor.
Tapi bukan sisi itu cerita penting yang ingin saya bagikan sejauh menemani hari demi hari sama beliau. Sisi sisi humanistik dari Mas Awalil jauh lebih penting dan berharga untuk saya sampaikan, setidaknya untuk diri saya sendiri.
Pertama, dalam banyak kesempatan ia menyebut dirinya sebagai ekonom pembelajar. Sebagai peminat ilmu ekonomi semua kegiatan yang dilakukan sebagai proses belajar. Tak ada perasaan sempurna dari ilmu yang dia peroleh dan karenanya pikirannya selalu terbuka untuk diuji dan dikoreksi.